News Update :

Video Ceramah

Ibadah

Ceramah Islam

Doa Doa Shahih

Tampilkan postingan dengan label Ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibadah. Tampilkan semua postingan

Keutamaan 10 Hari Pertama Dzulhijjah Menurut Al-Qur'an dan Sunnah

04 September 2016 12.55




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Allah telah menjadikan sebagian makhluk-makhluk ciptaan-Nya lebih utama atas sebagian yang lain. Allah mengistimewakan sebagian zaman, tempat, bulan, siang, dan malam. Allah juga telah melebihkan sebagian manusia atas sebagian yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. Al-Qashshash: 68)

Allah telah mengistimemakan kumpulan hari di sepuluh Dzulhijjah atas kumpulan hari lainnya dengan karunia dan pahala, sebagaimana Allah muliakan Makkah dan Madinah atas tempat-tempat lainnya.

Sebentar lagi, -sebagian catatan kalender, Sabtu (3/09/2016)- kita sudah memasuki kumpulan hari mulia ini. Di mana Allah telah menyebutkan kumpulan hari ini di Kitab-Nya dan bersumpah dengannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
“Walayaalin ‘Asyr” menurut Imam Al-Thabari adalah malam-malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan hujjah dari ahli ta’wil (ahli tafsir).” (Jaami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: 7/514)

Ibnu Katsir menguatkan penafsiran tersebut dengan mengatakan, “dan malam-malam yang sepuluh, maksudnya: sepuluh Dzulhijjah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu ulama salaf dan khalaf.” (Ibnu Katsir: 4/535)

Kemuliaan sepuluh hari ini juga disebutkan dalam Surat Al-Hajj dengan perintah agar memperbanyak menyebut nama Allah pada hari-hari tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma,  “al-Ayyam al-Ma’lumat (hari-hari yang ditentukan) adalah hari-hari yang sepuluh.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/239)

Kemuliaan sepuluh hari ini juga diakui umat-umat terdahulu. Allah berkisah tentang Nabi Musa ‘Alaihis Salam,

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS. Al-A’raf: 142)

Imam Ibnu Katsir di tafsirnya mengatakan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa 30 hari itu adalah Dzulqa’dah, sedangkan sepuluh harinya adalah 10 hari di Dzulhijjah. Ini perkataan Mujahid, Masruq, dan Ibnu Juraij.”

Pada hari-hari tersebut Nabi Musa berpuasa, memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah Ta'ala.   
Hari-hari pemuliaan yang dijanjikan Allah berakhir pada yaum nahr (Idul Adha), Musa mendapatkan Taurat, dan pada hari itu pula Allah sempurnakan Dien Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Dari sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau pernah bersaksi bahwa hari-hari tersebut adalah kumpulan hari dunia yang paling agung.

Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'Anhuma, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامِ الْعَشْرِ – يَعْنِيْ عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ – قِيْلَ: وَلَا مِثْلُهُنَّ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا مِثْلُهُنّ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ عُفِرَ وَجْهَهُ بِالتُّرَابِ

Hari-hari di dunia yang palung utama adalah hari-hari sepuluh -yakni sepuluh hari pertama dalam bulan Dzul Hijjah-, Ada yang bertanya, ‘tidak pula sama baiknya dengan (jihad) di jalan Allah..?’ Beliau menjawab, ‘tidak pula sama dengan (jihad) di jalan Allah melainkan seorang pria yang wajahnya penuh dengan debu tanah’.” (HR. Al-Bazzar, Abu Ya’la dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syaikh Al-Albani di Shahihut Targhib wat Tarhib dan Al-Jami’ush Shahih)
Beliau juga menerangkan keutamaan amal-amal shalih di dalamnya,


مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

"Tidak ada kumpulan hari yang amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dikerjakan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan  Ibnu Majah)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa amal shalih di sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih dicintai Allah Ta’ala daripada amal yang sama dikerjakan di kumpulan hari selainnya. Seluruh amal shalih dilipatgandakan pahalanya tanpa terkecuali.

Keutamaan tersebut bukan bagi amalnya saja, tapi juga bagi pelakunya. Bahkan disebutkan, ia lebih utama daripada mujahid fi sabilillah yang bisa kembali dari medan perang dengan membawa hartanya.

. . . Seluruh amal shalih di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dilipatgandakan pahalanya tanpa terkecuali. . .
Penutup
Kemuliaan dan keistimewaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah sangat besar. Amal-amal shalih di dalamnya diistimewakan; lebih dicintai Allah dan dilipatgandakan pahalanya. Semua ini bagian dari nikmat Allah dan karunia-Nya untuk para hamba-Nya. Wajiblah bagi kita mensyukurinya dengan meningkatkan perhatian dan kesungguhan diri dalam ketaatan. Caranya, bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal shalih dan memperbanyaknya daripada hari-hari sebelumnya.

Semua amal shalih dilipatgandakan pahalanya. Namun ada beberapa amal lebih spesial di hari-hari tersebut; di antaranya: haji dan umrah, udhiyah (berqurban), berpuasa (tanggal 9 dan hari-hari sebelumnya), dzikir dan takbir, shalat, sedekah, dan selainnya. Wallahu A’lam [PurWD/voa-islam.com] / ust.badrul tamam

Bolehkah Saat Berpuasa Bercumbu Dengan Istri ?

08 Juni 2016 14.13


ORANG yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya, selama tidak di kemaluan dan terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani (lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 36: 52-53 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111).

Imam An-Nawawi radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa, selama tidak keluar mani.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:215).

Dari Aisyah radhiyallahu ' anha, beliau berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedang beliau sedang dalam keadaan berpuasa. Beliau melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Umar bin Khattab radhiyallah ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang puasa, maka aku mendatang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang puasa.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?’ Aku menjawab, ‘Seperti itu tidak mengapa.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Lalu apa masalahnya?’” (Riwayat Ahmad).

Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika berpuasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh).” (riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4:149), dikeluarkan oleh Abdur Razaq dengan sanad yang shahih). *

Sumber: Buku Tutorial Ramadhan: Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan dari Sebelum Ramadhan hingga Ramadhan Berlalu karya Abu Mujahid. Diterbitkan oleh Infaq Dakwah Center (IDC) Bekasi, Jawa Barat./voa-islam.com

Perbanyak Puasa di Bulan Sya'ban Mencontoh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam

20 Mei 2016 13.57


Al-Hamdulillah, kita senantiasa memuji Allah, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Shalawat dan salam atas hamba & utusan-Nya, Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Disunnahkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban mencontoh kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau menyampaikan alasannya, karena pada bulan Sya’ban tersebut diangkat amal-amal hamba kepada Allah. Alasan lainnya,  banyak orang yang lalai di bulan Sya’ban dan beliau ingin menyelisihinya.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada bulan Sya’ban.”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amat suka saat amalanku dinaikkan aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kesaksian ’Aisyah  radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan selainnya semakin menguatkan sunnah ini. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ummul Mukminin menambahkan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa Sya'ban semuanya kecuali hanya sedikit hari saja (sedikit hari yang beliau tidak berpuasa padanya).” (HR. Muslim no. 1156)
Hikmah Banyak Puasa di Bulan Sya'ban
Di antara rahasia kenapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat sunnah rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathaif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)

Perintah memperbanyak puasa di bulan Sya'ban mengandung makna memperbanyak amal-amal shalih lainnya, seperti qiyamullail, membaca Al-Qur'an, berdzikir, bersedekah, silaturahim, dan semisalnya. Juga keharusan menjauhi perbuatan maksiat dan sayyiat. Karena perbuatan buruk ini bisa merusak pahala puasa.
Mari kita muliakan Sya'ban dengan semestinya dan jangan melalaikannya dari ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Khususnya, bagi saudari-saudariku, kaum muslimah, yang masih mempunyai hutang puasa di tahun lalu, hendaknya segera membayarnya sebelum tiba Ramadhan berikutnya. Wallahu a'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh ustadz badrul tamam

Kesalahan Fatal dalam Membasuh Tangan Saat Wudhu'

21 Januari 2016 14.59




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Salah satu rukun wudhu –tidak sah wudhu kecuali dengannya- adalah membasuh kedua tangan sampai siku. Para ulama sepakat tentang wajibnya membasuh kedua tangan ketika berwudhu. Berdasarkan firman Allah tentang wudhu,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ 

"Wahai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan kedua tangannya sampai siku." (QS. Al-Maidah: 6)

Makna “ilaa” pada ayat di atas memiliki ma’na (مع) “bersama” seperti firman Allah,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ 

“Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.” (QS. Al-Nisa’: 2)

Membasuh tangan dari ujung jari-jari sampai kedua siku. Artinya, semua siku harus ikut dibasuh. Minimal sekali, yaitu sekali basuhan sudah membasahi tangan dari ujung jari sampai siku secara keseluruhan, tidak boleh ada sedikitpun bagian yang luput.

Disunnahkan membasuhnya sebanyak tiga kali. Yakni dalam basuhan pertama seluruh tangan dari ujung jari sampai kedua siku terbasahi semua, dengan cara apapun (maksudnya: memulai basuhan dari ujung jari atau dari siku).

Apabila seseorang berwudhu dan membasahi seluruh tangan dari ujung jari sampai kedua siku, orang tadi telah melakukan basuhan sekali. Kemudian ia lakukan lagi untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya. Wallahu A’lam.

2 Kesalahan Fatal

Ada 2 kesalahan fatal yang sering dilakukan kaum muslimin berkaitan hal ini. Pertama, tidak memasukkan siku dalam bagian yang dibasuh. Sebagaimana keterangan di atas, siku termasuk bagian yang wajib dibasuh. Tidak sah wudhu, jika siku luput dari basuhan.

Kedua, tidak merata dalam membasuh kedua lengan bawah. Ada bagian sisi, seringnya sisi bagian belakang, yang tidak basah. Tentu menyebabkan wudhu tidak sah, karena tidak terpenuhi rukun membasuh tangan dengan sempurna.

Anas Radliyallaahu 'Anhu berkata:

رَأَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم رَجُلًا وَفِي قَدَمِهِ مِثْلُ اَلظُّفْرِ لَمْ يُصِبْهُ اَلْمَاءُ فَقَالَ: اِرْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ 

“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki yang pada telapak kakinya ada bagian sebesar kuku yang belum terkena air maka beliau bersabda: Kembalilah lalu sempurnakan wudlumu." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Hadits ini mengandung makna wajibnya membasuh dengan rata semua anggota wudhu. meninggalkan sedikit saja dari anggota wudhu' tersebut menyebabkan tidak sah wudhu yang dilakukan. (Dinukil dari Taudhih al-Ahkam, Syaikh Abdullah bin AbdurrahmanAl-Bassam: I/248)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan orang tadi untuk mengulangi wudhu'nya karena wudhu yang telah dikerjakannya tidak sah.

Hadits ini juga berlaku pada anggota wudhu' yang wajib dibasuh lainnya, seperti wajah, tangan dan kaki. Syaikh Al-Bassam mengatakan, “maka bagi orang yang memakai jam tangan atau cincin hendaknya ia menggerak-gerakkan jam atau cincinnya untuk memastikan air sampai ke kulit tangan yang ada dibaliknya.” Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh Ustadz Badrul Tamam

Wanita Haid Boleh Zikir, Doa, dan Baca Al-Qur'an

12 Januari 2016 07.34




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Wanita haid tidak boleh melaksanakan shalat dan puasa. Bukan berarti ibadah-ibadah lainnya untuk menjaga hubungan dia dengan Rabb-nya juga ditinggalkan. Dia masih disyariatkan berzikir dan berdoa. Bahkan, pendapat lebih shahih, dia masih dibolehkan membaca Al-Qur'an dari hafalannya.

Wanita yang sedang datang bulan hendaknya tetap berzikir dan berdoa, walau sedang berhadats besar. Karena zikir dan doa tidak disyaratkan suci darinya. Supaya dirinya tetap memiliki shilah shalihah (hubungan baik) dengan penciptanya.

Begitu juga, dirinya disyariatkan untuk tetap bertafaqquh fiddin (ngaji), membaca tafsir, mengkaji hadits, dan membaca buku islami.

Sesungguhnya ibadah bukan terbatas pada perkara fardhu saja, tapi juga yang nafilah. Ibadah, seperti yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, adalah nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhai Allah, dari perkataan dan perbuatan yang dhahir maupun batin. Maka apa saja yang dikerjakan orang dari kebaikan; seperti membantu orang susah, silaturahim, belajar dan mengajarkan ilmu termasuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam

Puasa Hari Arafah Hapuskan Dosa Dua Tahun, Maksudnya?

14 Oktober 2013 10.09




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalwat dan salam teruntuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Kita sudah berada pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dikenal dengan hari ‘Arafah. Para jamaah hari melaksanakan rukun utama ibadah haji, wukuf di padang ‘Arafah. Sementara kaum muslimin yang tidak mengerjakan haji disunnahkan berpuasa padanya.

Para ulama telah sepakat bahwa puasa hari ‘Arafah adalah seutama-utamanya puasa sunnah dalam satu hari. Hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan keutamannya, “Puasa hari 'Arafah; aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun yang telah lalu dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim dari hadits Abu Qatadah Radhiyallahu 'Anhu)

Apa maksud dari keutamaan puasa ‘Arafah yang mengapuskan dosa dua tahun, pada tahun tersebut dan tahun sesudahnya? Apakah semua dosa, besar dan kecilnya? Ataukah hanya dosa kecil saja?

Menghapuskan Dosa Dua Tahun

Maksud “menghapuskan dosa dua tahun” bisa mengandung dua pengertian: Pertama, Allah menghapuskan dosa-dosanya selama dua tahun (jika dosa-dosa besar dijauhi). Kedua, Allah akan menjaganya sehingga tidak melakukan kemaksiatan pada masa dua tahun tersebut. [Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal: 3/185]

Dosa yang akan dihapuskan melalui puasa ini adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa besar. Sedangkan dihapuskannya tersebut memiliki syarat dengan meninggalkan dosa-dosa besar. Hal ini seperti firman Allah Ta'ala,

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang kalian dilarang mengerjakannya, nisacaya kami hapuskan kesalahan-kesalahan (dosa-dosa kecil) kalian." (QS. Al-Nisa': 31)

Ibnu Katsir berkata, "Maksudnya: Apabila kalian jauhi dosa-dosa besar yang kalian dilarang darinya, kami hapuskan dosa-dosa kecil dari kalian dna kami masukkan kalian ke dalam surga."

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Shalat lima waktu, satu Jum'at ke Jum'at berikutnya, satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi kafarah (penghapus dosa) di antara keduanya jika dijauhi dosa-dosa besar." (HR. Muslim)

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Syaikh Rahimahullah ditanya, apakah puasa hari ‘Arafah menghapuskan dosa-dosa besar?

Beliau menjawab: zahir dari sabda Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwasanya puasa hari Arafah itu, “akan menghapuskan dosa setahun yang telah lalu dan setahun sesudahnya”, menghapuaskan dosa-dosa besar. Tetapi banyak dari ulama rahimahumullah berkata, bahwa puasa tersebut tidak menghapuskan dosa-dosa besar. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Shalat lima waktu, satu Jum'at ke Jum'at berikutnya, satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi kafarah (penghapus dosa) di antara keduanya jika dijauhi dosa-dosa besar." (HR. Muslim)

Jika shalat fardhu saja yang merpakan amal badan paling utama tidak bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) kecuali kalau ditinggalkan dosa besar, maka amal selainnya lebih layak (tidak bisa menghapuskan selain dosa kecil). Karenanya kita mengatakan, puasa hari ‘Arafah menghapuskan setahun yang telah lalu dan setahun sesudahnya hanya terhadap dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa besar, harus ada taubat yang berdiri sendiri.” Selesai dari fatawa. Wallahu A’lam.  [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Hukum Berkurban Untuk Orang Meninggal Dunia

10 Oktober 2013 09.36




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam­­, keluarga dan para sahabatnya.

Hukum asal berkorban disyariatkan untuk orang hidup yang mampu. Sebagaimana yang telah dikerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, di mana mereka berkurban untuk diri mereka dan keluarga mereka. Adapun mayit (orang yang sudah meninggal) tidak terkena lagi khitab perintah berkurban. Sehingga anggapan sebagian masyarakat bahwa berkurban itu hanya dikerjakan dari orang yang sudah meninggal adalah keyakinan tak berdasar.

Adapun berkurban untuk (atas nama) orang yang sudah meninggal terbagi menjadi tiga macam:

Pertama:  mengikutkan orang yang sudah meninggal dalam pahala kurban yang dilakukan orang yang hidup. Artinya, seseorang yang berkurban untuk dirinya dan keluarganya dengan menyertakan niat pahalanya untuk orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia, maka bentuk semacam ini dibolehkan. Bahkan dianjurkan sebagaimana berkurbannya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk diirnya dan keluarganya; di antara mereka adalah orang yang meninggal sebelum beliau.

Kedua: Berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia karena menjalankan wasiatnya. Ini dibolehkan, bahkan harus ditunaikan. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181)

Ketiga: berkurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai kebaikan hati dari orang hidup supaya mayit tersebut mendapat tambahan pahala. Berkurban atas nama mayit ini tanpa ada wasiat darinya dan bukan untuk menunaikan nadzarnya.
. . . menghususkan kurban untuk/atas nama orang mayit bukanlah termasuk sunnah yang harus diagung-agungkan. Sebabnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menghususkan kurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia . . .

Dalam bagian ini terdapat tiga pendapat ulama yang masyhur tentang hukumnya:

Pertama: tidak sah berkurban atas nama mayit tanpa ada wasiat darinya. Jika mayit berwasiat saat masih hidup maka sah kurban atas namanya sepeninggalnya. Ini adalah pendapat Madhab Syafi’iyah. Imam Nawawi Rahimahullah  berkata: “Tidak sah kurban atas nama orang lain tnapa seizinnya, dan tidak pula atas nama mayit jika ia tidak berwasiat dengannya.” (Al-Minhaj: 1/248)

Kedua: hukumnya makruh. Ini pendapat Madhab Malikiyah. Imam Khalil Rahimahullah berkata dalam Mukhtasharnya saat menyebutkan perkara-perkara yang dimakruhkan dalam udhiyah, “ Dan dimakruhkan . . . . dan menunaikannya atas nama mayit.”

Ketiga: sah kurban atas nama mayit tanpa wasiat darinya dan pahalanya sampai kepadanya. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan inilah insya Allah pendapat yang lebih kuat diqiyaskan dengan shadaqah yang dikeluarkan atas namanya.
. . . Hukum asal berkorban disyariatkan untuk orang hidup yang mampu. . . .
Perlu dicatat bahwa menghususkan kurban untuk/atas nama orang mayit bukanlah termasuk sunnah yang harus diagung-agungkan. Sebabnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menghususkan kurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia dari keluarga, kerabat atau sahabat beliau.

Tidak ditemukan satu riwayat-pun bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkurban atas nama istri tercinta beliau, Khadijah. Tidak pula atas nama anak-anak beliau yang wafat saat beliau masih sugeng. Tidak pula ada keterangan bahwa beliau pernah berkurban atas nama Hamzah yang memiliki kedudukan istimewa bagi beliau dari kalangan kerabatnya. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Ini Dalil Puasa Hari Senin & Kamis

02 Oktober 2013 14.16



Puasa hari Senin  dan Kamis termasuk sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anhu mengatakan,

كَانَ يَتَحَرَّى صِيَام الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيس

“Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memperbanyak puasa pada hari Senin & Kamis.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasi dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan Al-Albani)

Saat beliau ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ


Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau (awal) diturunkan Al-Qur'an kepadaku.” (HR. Muslim)

Saat beliau ditanya tentang puasa hari Senin dan Kamis, beliau menjawab:

ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Keduanya adalah hari dihadapkannya amal-amal kepada Rabbul ‘Alamin (Allah). Karenanya aku suka saat amalku dibawa kepada-Nya aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Al-Nasai dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)

Raihlah keberuntungan hidup dengan mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan berharap pahala kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Buah Istighfar Tukang Roti : Terkabul Semua Doanya

25 September 2013 08.27


Satu lagi kisah menggambarkan keajaiban istighfar. Menjadi sebab dikabulkannya segala permohonan & keinginan. Membenarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Siapa yang kontinyu beristighfar maka Allah jadikan baginya jalan keluar dari setiap kesulitannya, kesudahan dari setiap kesedihannya, dan memberinya rizki dari jalan yang tidak ia sangka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) Semoga bisa menginspirasi kita semua untuk menjadi al-mustghfirin dalam keseharian kita.


Suatu malam, Imam Ahmad pernah berkeinginan menghabiskan malamnya di sebuah masjid. Tetapi penjaga masjid melarangnya. Imam Ahmad berusaha agar diizinkan, namun tak juga membuahkan hasil. Maka imam Ahmad berkata kepadanya, “Aku akan tidur di sini.” Benar, Imam Ahmad tidur di tempatnya tersebut. Tiba-tiba penjaga masjid berdiri dan mengeluarkannya dari area masjid.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang syaikh yang berwibawa. Kharismanya nampak bagi siapa saja yang melihatnya. Maka saat seorang tukang roti melihat  beliau dengan kharismanya, ia mengajaknya menginap di rumahnya. Pergilah Imam Ahmad bersama tukang roti tersebut. Ia sangat memuliakan sang imam. Setelah menjamunya, si tukang roti pergi menggarap adonan untuk dibuat roti.

Sepanjang menyelesaikan pekerjaannya, laki-laki tadi senantiasa beristighfar. Imam Ahmad dibuat takjub dengan pemandangan ini. Saat pagi tiba beliau menanyakan perihal istighfarnya semalam. Si tukang roti menjawab bahwa dirinya senantiasa membaca istighfar.

Kemudian Imam Ahmad bertanya: Apakah kamu mendapatkan buah dari istighfarmu?

Dia menjawab: Ya, demi Allah, tidaklah aku berdoa (meminta) sesuatu kecuali pasti dikabulkan, kecuali satu doa!

Imam Ahmad bertanya: doa apa itu?

Dia menjawab: melihat Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad berkata: Saya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Demi Allah, sungguh aku benar-benar telah diseret kepadamu.

Subhanallah, ini adalah bukti nyata keajaiban istighfar. Ia menjadi sebab dikabulkannya doa dan permintaan kepada Allah. Istighfar juga menjadi sebab dihindarkannya bala’, dilapangkan dada, diluaskan rizki, dan dihindarkan dari berbagai bencana. 

Istighfar menghapuskan dosa-dosa, menghapuskan kesalahan-kesalahan, dan meninggikan derajat.  sungguh besar pahala dan keutamaan yang akan diperoleh orang yang melazimi istghfar.

Di antara bentuk bacaan istighfar: Astaghfirullah, Astaghfirullah wa Atubu Ilahi,  Asataghfirullaah Laa Ilaaha Illaa HuwalHayyal Qayyuma wa Atuubu Ilaihi, dan selainnya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Anjuran Shalat Witir Sebelum Tidur

20 September 2013 09.34




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Shalat witir sebelum tidur termasuk sunnah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewasiatkannya kepada sebagian sahabatnya, seperti Abu Hurairah, Abu Darda’ dan selainnya. Keberadaannya sebagai wasiat beliau tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:

أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَبِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصَلَاةِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ

“Kekasihku Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah).” (HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib)

Anjuran mengawalkan witir sebelum tidur ini ditekankan kepada siapa yang tidak yakin akan terbangun di akhir malam. Ini lebih utama untuk dirinya. Dan ini tentunya akan lebih memberikan jaminan tidak meninggalkan shalat witir.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لِيَرْقُدْ وَمَنْ طَمِعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam hendaknya ia witir di awal malam, lalu ia tidur. Dan siapa  di antara kalian yang yakin benar bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam. Sebab, bacaan di akhir malam dihadiri Malaikat dan lebih utama.” (HR. Muslim, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sedangkan bagi orang yang yakin atau menurut perkiraannya -lebih kuat- akan bangun di akhir malam –tidak diragukan lagi- bahwa mengakhirkan witir adalah lebih utama. Yakni di sepertiga malam terakhir sebagai waktu turunnya Allah ke langit dunia.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikan witir sebagai akhir shalat malammu,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma)

Pendapat Membatalkan Witir Pertama

Ada pendapat sebagian ulama yang menyebutkan, jika seseorang tidak yakin akan bangun di akhir malam hendaknya mengawalkan witir sebelum tidur. Lalu jika ia  bangun di pertengahan atau akhir malam hendaknya ia shalat satu rakaat untuk membatalkan witirnya. Setelah itu ia menutup shalat malamnya tersebut dengan witir kembali.

Pendapat di atas tidak benar. Banyak ulama telah memberikan bantahannya. Di antara hujjahnya adalah adanya hadits yang melarang mengerjakan dua witir di satu malam, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasai)

Membatalkan witir dengan cara ini menyebabkan ia mengerjakan witir tiga kali dalam satu malam. Larangan mengerjakan witir dua kali dalam semalam menuntut larangan pula tiga kali, empat kali dan seterusnya.
Sengaja membatalkan witir sebelum tidur bertentangan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taat pula kepada Rasul-Nya, serta jangan batalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad: 33)

Maka siapa yang sudah mengerjakan shalat witir awal malam (sebelum tidur) lalu ia bangun di sepertiga malam terakhir hendaknya ia mengerjakan shalat dua rakaat, dua rakaat, sehingga masuk Shubuh. Cukup baginya mendapatkan keutamaan witir dengan witir di awal malam tadi. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

OLeh : Ustadz Badrul Tamam

6 Aturan Bagi yang Baru Datang Saat Khutbah Jum'at Sudah Dimulai

13 September 2013 08.51




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Orang yang datang menghadiri shalat Jum’at sesudah imam naik mimbar kehilangan kesempatan mendapat pahala lebih besar. Namanya tak tertulis dalam buku catatan Malaikat untuk mendapatkan tambahan pahala. Padahal para Malaikat berada di pintu-pintu masjid mencatat siapa-siapa yang datang. Yang pertama dicatat pertama, kemudian berikutnya dan berikutnya. Karenanya siapa yang datang lebih awal mendapat keutamaan lebih banyak daripada yang belakangan.

Karenanya, kami himbau kepada suadara seiman untuk datang ke shalat Jum’at lebih awal. Diusahakan sudah berada di masjid sebelum imam naik ke mimbar. Ini sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan merasakan kenikmatan dalam beribadah.

6 Aturan Bagi yang Datang Terlambat

Ada beberapa hukum dan aturan penting yang harus diketahui bagi siapa yang mendatangi shalat Jum'at saat imam sudah memulai khutbahnya. Kami akan uraikan enam saja yang dinilai paling penting untuk diperharikan. yaitu:

Pertama, Shalat dua rakaat yang ringan bagi orang yang baru datang.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam 

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَقَدْ خَرَجَ الإِمَامُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ


"Apabila salah seorang kalian datang pada hari Jum'at sedangkan imam sudah naik mimbar maka hendaknya ia shalat dua rakaat." (HR. Muslim)

Masih dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata: Sulaik al-Ghatafani datang ke masjid pada hari Jum'at saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah. Langsung ia duduk. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya: "Ya Sulaik, Berdirilah dan shalatlah dua rakaat dan ringankan keduanya." Kemudian beliau bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

"Apabila salah seorang kalian mendatangi shalat Jum'at saat imam berkhutbah, maka shalatlah dua rakaat dengan ringan." (HR. Muslim)

Ini menunjukkan pentingnya shalat tahiyyatul masjid yang memiliki makna pengagungan terhadap rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat yang diibadahi di dalamnya. Sampai-sampai itu harus tetap disempatkan walau untuk mendengarkan khutbah dari lisan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Kedua: Tidak boleh melangkahi bahu jamaah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr, bahwa seorang laki-laki datang ke masjid dengan melangkahi bahu leher orang-orang pada hari Jum'at. Saat itu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sedang menyampaikan khutbah, lalu beliau bersabda:

اٍجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ

"Duduklah, sungguh kamu telah mengganggu orang lain, sedangkan kamu datang terlambat." (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, no. 1105)

Hadits di atas menunjukkan bahwa melangkahi orang yang ada di depannya pada hari Jum'at hukumnya haram. Hukum haram ini hanya khusus pada hari Jum'at, seperti yang disebutkan dengan jelas dalam hadits di atas. Mungkin juga disebutkan hari Jum'at karena hal itu sering terjadi pada hari Jum'at dengan banyaknya orang yang hadir di masjid. Dengan demikian, larangan melangkahi jama'ah yang lain juga berlaku pada shalat-shalat lainnya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran, karena di dalamnya terdapat 'illah, yaitu menyakiti/mengganggu orang lain. Bahkan hal itu juga terjadi dalam majelis ilmu.

Ketiga: Tidak memisahkan duduk dua orang yang berdekatan kecuali dengan izin keduanya.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:

لاَ يُجْلَسُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ إِلاَّ بِإِذْنِهِمَا

"Tidak boleh diduduki (tempat) di antara dua orang kecuali dengan izin keduanya." (HR. Abu Dawud dan dihassankan Al-Albani)

Keempat: Tidak boleh mengusir seseorang dari tempat duduknya lalu ia menempatinya.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata: Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang seseorang menyuruh berdiri (mengusir) saudaranya dari tempat duduknya lalu duduk di situ." Aku bertanya kepada Nafi', "Apakah itu pada hari Jum'at?" beliau menjawab, "Hari Jum'at dan selainnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam; bahwa beliau melarang mengusir seseorang dari tempat duduknya dan orang lain menempatinya, tetapi lapangkan dan perluas. Dan Ibnu Umar tidak suka ada seseorang yang pindah dari tempat duduknya (atas kemauannya sendiri) lalu beliau duduk di tempatnya itu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kelima: Apabila ada seseorang yang berpindah dari tempat duduknya untuk memberikan kepadanya agar ia menempatinya, hendaknya ia tidak mau.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, berkata: Ada seseorang datang menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu ada seseorang berdiri dan meninggalkan tempat duduknya agar beliau duduk di situ. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarangnya. (HR. Abu Dawud dan dihassankan oleh Al-Albani)

Keenam: Duduk di barisan terakhir.

Bagi orang yang baru datang atau datang terlambat maka hendaknya ia duduk di tempat terakhir (barisan). Jika ia ingin mendapatkan tempat di tempat, hendaknya ia datang lebih awal. Janganlah ia menelusuri barisan jamaah yang sudah terlebih dahulu untuk mendapat tempat lebih depan. Kecuali ada tempat yang kosong dan longgar.

Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu Anhu dia berkata,

كُنَّا إِذَا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ أَحَدُنَا حَيْثُ يَنْتَهِي

"Jika kami mendatangi (majelis) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka salah seorang dari kami akan duduk di mana majelis berakhir (barisan terakhir).” (HR. Abu Daud dan Al-Tirmizi)

Penutup

Keenam perkara ini hampir-hampir terlupakan oleh kita. Padahal hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sudah jauh-jauh hari merekamnya. Para ulama juga sudah menjelaskannya. Semoga kita dijadikan bagian orang-orang yang rakus kepada kebaikan dan amal shalih. Khususnya yang dihari Jum'at. Sehingga kita sudah bersiap-siap sejak pagi untuk memuliakan sayyidyul ayam yang mulia. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Niatan-niatan Saat Memperbanyak Puasa Sunnah

23 Agustus 2013 09.32


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.



Dari Abu Said Al-Khudry Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اَللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اَللَّهُ بِذَلِكَ اَلْيَوْمِ عَنْ وَجْهِهِ اَلنَّارَ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa satu hari waktu perang di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkannya dari api neraka dengan puasa itu sejauh 70 tahun perjalanan.” (Muttafaq ‘Alaih, lafadznya milik Muslim)

Memperbanyak puasa menunjukkan kecintaan hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena ia meninggalkan apa yang disuka dan butuhkan oleh dirinya dari makan, minum, hubungan suami istri hanya karena Tuhannya.

Supaya lebih sempurna pelaksanaan ibadah yang disebutkan dalam hadits Qudsi, “Puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Aku sendiri yang akan membalasnya”, seseorang perlu menghadirkan niat dan tujuan yang benar dalam pelaksaannya. Karena niat memiliki posisi penting dalam suatu amal. Seseorang akan dibalas sesuai dengan naitnya. Terkadang amal terlihat kecil bisa menjadi besar nilainya di sisi Allah karena sebab niat yang lurus. Di antara niat dan tujuan yg harus ditanamkan dalam diri shaimin:

1. Berpuasa dalam rangka bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan amal-amal yang dipaling dicintai oleh-Nya.
2. Berharap agar Allah menjauhkan wajah kita dari neraka sejauh 70 tahun.
3. Menundukkan jiwa dan mengarahkannya untuk menjalankan ketaatan.
4. Menaklukkan nafsu syahwat demi menjaga kehormatan diri.
5. Mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam baik dengan shiyam hari Senin & Kamis, Shiyam Ayyamul Bidh, Shiyam Dawud, dan selainnya.
6. Berharap dan berbahagia mendapat kesempatan terkabulnya doa di saat berpuasa.
7. Merasakan kesusahan yang dialami orang-orang fakir dan miskin.
8. Berharap bisa masuk surga dari pintu Rayyan.
9. Berharap agar Allah memberi minum (menghilangkan dahaga) pada hari terjadinya dahaga yang besar (yaumul Mahsyar). Karena balasan sesuai dengan jenis amal, siapa yang berhaus-haus karena Allah pada hari yang panas di dunia niscaya Allah akan memberinya minum pada hari terjadinya kehausan masal di akhirat kelak.
10. Mendapat syafaat pada hari kiamat.
11. Meningkatkan semangat mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran.
12. Berharap agar Allah berkenan memberikan buah takwa kepada kita.

Semoga ibadah shiyam sunnah kita baik berupa enam hari di Syawal, shiyam Ayyamul Bidh, shiyam tiga hari setiap bulan, shiyam Senin & Kamis, Shiyam Dawud, atau selainnya diterima oleh Allah dan mendapat pahala yang besar dari sisi-Nya. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Rukun dan Cara Melaksanakan Shalat Ghaib

20 Agustus 2013 08.53




PADA dasarnya, shalat jenazah dan shalat gaib sifatnya sama. Namun pada shalat ghaib, kita tidak sedang berada di dekat jenazah. Semisalnya ada seorang kerabat yang meninggal di luar kota dan kita tidak dapat hadir untuk langsung menyolatkannya. Maka yang dapat kita lakukan adalah melaksanakan shalat ghaib ini.
Adapun tata cara shalat ghaib tidak jauh beda pula seperti shalat jenazah yaitu melaksanakan 8 rukun-rukunnya.

Rukun yang pertama : Niat

Niat adalah tonggak utama dari segala macam ibadah yang kita laksanakan. Sebagaimana shalat pada umumnya, shalat ini pun tidak akan sah jika tidak diniatkan terlebih dahulu. Sebagaimana yang terjadi pula pada ibadah-ibadah yang lainnya.

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang mendapatkan sesuai niatnya,”(HR. Muttafaq Alaihi). Jadi sekalipun niat terletak di dalam hati dan tidak perlu dilafadzkan keras, tetap saja kita harus berniat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Dan khusus pada poin ini adalah niat untuk shalat ghaib bagi si mayit.

Rukun yang kedua : Berdiri Bila Mampu

Dalam shalat wajib dan sunnah lainnya, seseorang diberikan keringanan untuk shalat dengan posisi duduk, bahkan berbaring jika kondisinya memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat sambil berdiri. Begitu pula dengan shalat jenazah dan shalat ghaib. Kecuali memang seseorang tersebut benar-benar memiliki udzur atau alasan yang syar’i sehingga membebaskannya dari posisi shalat sambil berdiri. Namun, jika masih bisa diusahakan untuk shalat sambil berdiri, maka itu yang lebih baik baginya.

Rukun yang ketiga : Takbir sebanyak 4 kali

Sebagaimana hadits Nabi Muhammad dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW menyolatkan jenazah Raja Najasyi dengan shalat ghaib dan beliau bertakbir 4 kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari: 1245, Muslim: 952 dan Ahmad 3:355).
Inilah yang menjadi acuan untuk melaksanakan shalat ghaib dengan jumlah takbir sebanyak 4 kali. Seperti yang telah diketahui bahwa setelah sebelumnya menjadi seorang pemeluk nasrani yang taat, Raja Najasyi dapat masuk Islam ketika mendengar berita kerasulan Muhammad SAW.

Rukun yang keempat : Membaca Surat Al-Fatihah sebagaimana shalat pada umumnya.

Rukun yang kelima : Membaca Shalawat kepada Rasulullah SAW sebagaimana ketika bacaan sholat pada tahiyyat umumnya.

Rukun yang keenam : Memanjatkan doa teruntuk Jenazah. Ini sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya, “Bila kalian menyalati jenazah, maka murnikanlah doa untuknya.” Hadits Riwayat Abu Daud: 3199 dan Ibnu Majah: 1947. Lafadz doa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW diantaranya, “Allahummaghfirlahu warhamhu, wa’aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ madkhalahu, waghsilhu bil ma’i watstsalji wal barad.”

Rukun yang ketujuh : Berdoa Setelah Takbir Keempat, “Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlana wa lahu.”

Rukun yang kedelapan : Salam

Untuk menyelenggarakan shalat ghaib ada beberapa pendapat bahwa ada perintah untuk disyariatkan shalat ghaib, baik apakah jenazah itu sudah dishalatkan secara langsung ataupun belum dishalatkan.
Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Ibnu Hazm. Beliau berkata dalam kitabnya Al-Muhalla (5/169, no.260) bahwa “Mayit tetap dishalatkan ghaib, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyalatkan raja Najasyi bersama para sahabatnya dalam beberapa shaf. Ini merupakan ijma’ mereka yang tidak boleh dibantah.” / islampos.com

Wajibkah Shalat Jum'at Bagi Musafir ?

15 Agustus 2013 14.34




Salah satu syarat wajibnya shalat Jum'at adalah bertempat tinggal atau berdomisili di negerinya sendiri. Bukan orang yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah sebagaimana kaum Badui) dan sedang dalam bepergian (bersafar). Hal ini sebagaimana yang dicantumkan para fuqaha' dalam kitab-kitab mereka dan diamalkan kaum muslimin generasi awal dan belakangan. (Minhaaj al-Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazaairi: 194)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Setiap kaum yang berdomisili tetap dengan mendirikan bangunan yang berdekatan, tidak berpindah-pindah, baik pada musim hujan atau kemarau yang di tempat tersebut dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka wajib mengerjakan shalat Jum'at. Bangunan mereka itu didirikan dengan bahan yang biasa berlaku, yakni dari tanah kering, kayu, bambu, pelepah, atau yang lainnya; dan sesungguhnya bagian-bagian bangunan dan materinya tidak berpengaruh dalam pensyari'atan tersebut. Dasar pokoknya adalah mereka harus bertempat tinggal tetap, bukan seperti orang berkemah yang kebanyakan mereka mencari kayu dan berpindah-pindah tempat. . . . Demikian itu merupakan medzhab jumhur ulama." (Fatawa Ibni Taimiyah: XXIV/166-167; Dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal. 331)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden). Kewajiban itu gugur dengan kebiasaan mereka tersebut. Dengan demikian orang-orang yang menetap di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah maka mereka termasuk penduduk negeri." (Fatawa Ibni Taimiyah: XXIV/169; dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal. 331)
Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden).
Demikian yang berlaku atas musafir (orang dalam perjalanan). Mereka tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at. Hal tersebut, oleh Fuqaha', didasarkan pada beberapa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyebutkan dengan sangat jelas dan tegas. Di antaranya: 

Hadits marfu' dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى مُسَافِرٍ جُمُعَةٌ

"Musafir tidak wajib melaksanakan Jum'at." (HR. Thabrani dengan isnad yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Bulughul Maram, no. 438)

Hadits marfu' dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu

خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ الْمَرْأَةُ ، وَالْمُسَافِرُ ، وَالْعَبْدُ وَالصَّبِيُّ ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ

"Lima golongan yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum'at: wanita, musafir, hamba sahaya, anak kecil, dan orang badui (pedalaman yang hidupnya nomaden)." (HR. Thabrani dalam al-Mu'jam Al-Aussath dan di dalamnya terdapat Ibrahim bin Hammad yang oleh al-Daaruquthni didhaifkan)

Pada ringkasnya, hadits-hadits yang menerangkan dengan gamblang perihal tidak wajibnya shalat Jum'at bagi musafir statusnya lemah. Namun, hadits-hadits tersebut dikuatkan dengan Sunnah Fi'liyah (amaliyah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Bahwa beliau pernah melakukan banyak perjalanan, di antaranya melaksanakan umrah tiga kali selain umrah hajinya, menunaikan haji Wada', dan berangkat perang lebih dari 20 kali. Namun, tidak ada ketarangan yang shahih bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat Jum'at dan shalat 'Ied saat dalam perjalanan. Bahkan, riwayat menyebutkan kalau beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat -Dhuhur dan Ashar- di seluruh perjalanan beliau. Begitu juga saat hari Jum'at, beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap mengerjakan shalat Dhuhur. 

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Jabir radliyallah 'anhu, "Ketika sampai di perut lembah pada hari 'Arafah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam singgah lalu menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Setelah beliau selesai berkhutbah, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamah. Selanjutnya beliau menunaikan shalat Dhuhur. Setelah itu, Bilal mengumandangkan Iqamah lalu beliau menunaikan shalat 'Ashar." (HR. Muslim no. 1218)

. . . saat hari Jum'at, beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap mengerjakan shalat Dhuhur.
Ini merupakan nash yang sangat jelas, gamblang, dan shahih, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menunaikan shalat Jum'at ketika dalam perjalanan (safar). Beliau hanya melaksanakan shalat Dhuhur. 
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: "Keterangan yang dapat dijadikan dalil  gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam beberapa kali perjalanan -sudah tentu- pernah ada yang bertetapan dengan hari Jum'at. Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at sementara beliau dalam perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan bahwa beliau melaksnakan shalat Dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum'at. Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi seorang musafir." (Al-Ausath: 4/20)

Terdapat juga keterangan-keterangan dari shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik radliyallahu 'anhu menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah:1/442, Ibnul Munzdir dalam al-Ausath: 4/20 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma  berkata, "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: 1/442, Ibnul Munzdir: 4/19, dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 3/184 dengan sanad yang shahih)

Kapan Musafir Tidak Wajib Melaksanakan Shalat Jum'at

Musafir tidak lagi wajib melaksanakan shalat jum'at semenjak dia keluar dari negerinya sampai ia kembali lagi. Dia tidak wajib melaksanakan Jum'atan ketika di tengah perjalanannya, ketika sampai di tempat tujuannnya yang tidak diniatkan untuk bermukim di sana hingga dia kembali ke rumahnya. 

Jika dia sendirian, di tidak wajib untuk mendirikan jum'atan sendirian. Dan jika tetap mendirikan dan melaksanakan Jum'atan dengan sendirian, menurut pendapat empat madzhab, shalat Jum'atnya tidak sah dan dia wajib melaksanakan shalat dhuhur. 

Dia juga tidak wajib ikut berjum'atan dengan penduduk negeri yang dilaluinya. Namun, jika dia bergabung dengan jama'ah suatu masjid di suatu negeri/daerah, maka sudah mencukupinya. Artinya dia tidak lagi berkewajiban melaksanakan shalat Dhuhur. 

Sesungguhnya musafir memiliki keringanan yang tidak dimiliki kelompok lain. Jika dia sampai di suatu negeri lalu mendengar adzan, baik untuk shalat jama'ah atau jum'at, sedangkan dia merasa berat untuk mendatanginya, atau ingin beristirahat karena ngantuk, atau ada kesibukan, maka dia memiliki udzur (alasan) untuk tidak mendatangi panggilan adzan tersebut yang tidak dimiliki oleh orang yang muqim, walau dia buta. 

Apabila Berniat Tinggal Sampai Beberapa Pekan

DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam kitabnya Shalah al-Mukmin (diterjemahkan: Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah) menjelaskan, "Jika seorang musafir mengumpulkan waktu masa tinggalnya sehingga melarangnya melakukan qashar shalat, dan juga dia tidak disebut sebagai penduduk tetap suatu negeri, seperti penuntut ilmu atau pedagang yang bermukim untuk menjual barang dagangannya atau membeli sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam waktu yang cukup lama, maka terdapat dua pendapat menurut Madzhab Hambali: 

Pertama, dia harus menunaikan shalat Jum'at berdasarkan keumuman ayat Al-Qur'an dan dalil-dalil berita yang mewajibkan shalat Jum'at kecuali kepada lima golongan: orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, dan hamba sahaya. Musafir yang bermukim selama waktu yang melarang dirinya mengqashar shalat tidak termasuk lima golongan di atas. 

Kedua, dia tidak wajib menunaikan shalat Jum'at, karena dia bukan penduduk yang menetap. Sedangkan tinggal menetap menjadi salah satu syarat wajib shalat Jum'at. Selain itu, karena dia tidak berniat bermukim di negeri itu untuk selamanya sehingga dia serupa dengan penduduk badui yang menempati suatu kampung selama musim kemarau dan berpindah pada waktu musim hujan. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah: III/218)"
Kemudian DR. Sa'id al Qahthani merinci tentang shalat Jum'atnya musafir yang bermukim dalam rentang waktu yang menghalangi dirinya untuk mengqashar shalat dan juga tidak berniat bermukim dengan dua kesimpulan yang dikuatkannya:

1. Jika para musafir bermukim selama waktu yang melarangnya mengqashar shalat di tempat yang tidak dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum'at. Sebabnya, karena mereka seperti musafir dan penduduk badui. Sedangkan shalat Jum'at hanya diwajibkan bagi orang yang tinggal menetap. 

2. Jika mereka bermukim di suatu tempat yang didirikan shalat Jum'at oleh penduduk setempat, maka disyariatkan baginya untuk mengerjakan shalat Jum'at bersama mereka. Di dalam kitab Al-Inshaf, Imam al-Mawardi menrajihkannya seraya berkata, "Madzhab yang benar adalah bahwa shalat Jum'at itu wajib dia kerjakan bersama orang lain." (Al-Inshaf fi Ma'rifah al-Raajih min al-Khilaf: V/170) Demikian pula yang difatwakan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz di dalam Majmu' Fatawanya: XII/376-377)
(PurWD/voa-islam.com)

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Petunjuk Pelaksanaan Zakat Fitrah

03 Agustus 2013 14.59




Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, rahmat bagi semesta alam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Zakat fitrah adalah zakat/sedekah yang diwajibkan untuk dikeluarkan dengan selesainya puasa bulan Ramadhan. Hal ini sebagai pembersih bagi seorang shaim atas puasanya dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk. Di samping itu, juga sebagai bentuk belas kasih kepada orang-orang miskin agar mereka memiliki kecukupan saat hari bahagia (hari raya) sehingga tidak meminta-minta.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ ، وَالرَّفَثِ ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat 'Ied, maka terhitung sebagai zakat yang diterima; dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, maka terhitung sebagai sedekah sebagaimana sedekah lainnya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Imam al-hakim. Namun yang lebih kuat statusnya adalah hasan)

Siapakah yang wajib mengeluarkannya?

Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhu, berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat ('idul Fitri)." (Muttafaq Alaih)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menerangkan dalam hadits di atas bahwa zakat fitrah diwajibkan atas semua orang Islam, besar ataupun kecil, laki-laki atau perempuan, dan orang merdeka atau hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil ditanggung zakatnya oleh walinya.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju pada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang menanggung nafkahnya, ini merupakan pendapat jumhur ulama." (Fathul Bari 3/369; lihat at-Tamhid 14/326-328, 335-336).

Nafi' radliyallahu 'anhu mengatakan: "Dahulu Ibnu 'Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dulu, dia benar-benar menunaikan zakat anakku." (Shahih, HR. Bukhari)

Sementara budak –yang pada dasarnya tidak memiliki sesuatu sehingga Jumhur ulama berpendapat tidak wajib atasnya- ditanggung oleh tuannya, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurmadan satu sha' gandum atas setiap budak atau orang merdeka, anak kecil atau orang dewasa."

Demikian juga bagi budak/hamba sahaya, zakatnya diwakilkan oleh tuannya. (Fathul Bari 3/369).

Apakah selain muslim terkena kewajiban zakat?

Zakat fitrah hanya wajib atas orang muslim. Karena ia bagian dari ibadah dan pembersih bagi orang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan tercela. Oleh sebab itu, orang kafir bukan termasuk golongan yang wajib berzakat. Dan secara umum, Islam menjadi syarat diterimanya amal shalih seseorang sehingga ia menjadi syarat menurut Jumhur ulama. Dan disiksanya mereka diakhirat hanyalah karena meninggalkannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Umar di atas, "dari kalangan orang Islam."

Bagaimana dengan anak yang kafir, apakah ayahnya yang muslim berkewajiban mengeluarkan zakatnya?
Jawabnya: Tidak. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan catatan pada ujung hadits di atas, bahwa kewajiban itu berlaku bagi orang Islam. walaupun dalam hal ini ada juga yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun, pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits.

Apakah janin wajib dizakati?

Janin tidak wajib dizakati. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah kepada anak kecil, sedangkan janin tidak disebut anak kecil, baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan ijma' tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun juga, ada yang berpendapat bahwa janin tetap dizakati. Seperti sebagian riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hazm dengan catatan bahwa janin tersebut sudah berumur 120 hari.

Pendapat lain dari Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits.

Orang tidak mampu apa wajib zakat?

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya." (Badai'ul Fawaid 4/33).

Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, Imam asy-Syaukani  rahimahullah menjelaskan: "Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar zakat fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah)." (ad-Darari 1/365, ar-Raudhatun Nadiyyah 1/553, lihat pula fatawa Lajnah Daimah 9/369).

Dalam bentuk apa zakat fitrah dikeluarkan?

Dalam hal ini dijelaskan oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, berkata: "Kami memberikan zakat fitrah di zaman nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak 1 sha' dari makanan, I sha' kurma, 1 Sha' gandum, ataupun 1 Sha' kismis (anggur kering)." (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata "makanan" maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri, bisa berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa'id yang lain, beliau mengatakan: "Kami mengeluarkan (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari 'Idul Fitri." Beliau mengatakan lagi, "dan makanan kami pada saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, kurma." (HR. Bukhari).

Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk memberikan makan bagi fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat.

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)

Inilah pendapat yang kuat yang dipilih jumhur (mayoritas) ulama.  Di antaranya pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, Ibnu Bazz, dan lainnya.

Ada juga pendapat yang membatasi zakat fitrah hanya dalam bentuk yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ini hanya salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Namun, pendapat ini lemah.

Bolehkah mengeluarkannya dalam bentuk uang?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.  

Pendapat Pertama, tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi'i, Ahmad, dan Abu Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehinga tak boleh menyelisihinya. Zakat juga tidak lepas dari bagian ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wata'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebutkan dalam hadits.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Ucapan-ucapan Imam Syafi'i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang)." (al-Majmu': 5/401).

Abu Dawud rahimahullah mengatakan, "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya: 'bolehkan saya memberi uang dirham –yakni dalam zakat fitrah-?' beliau menjawab: 'saya khawatir tidak sah, menyelisihi sunnah Rasulullah'."

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, "Yang tampak dari Madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat (fitrah)." (al-Mughni, 4/295).

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahumullah. (lihat Fatawa Ramadlan, 2/918-928).

Pendapat Kedua, boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Dan pendapat pertama itulah yang kuat.

Atas dasar itu, bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras, misalnya, untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara' dalam bentuk beras, bukan uang.

Namun, sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika hal itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.

Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata, "boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun dan tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli kurma atau gandum terlebih dahulu. Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya." (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380).

Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa (25/82-83), "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh . . . . . karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka boleh jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi juga dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. . . . Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa . . . ."

Ibnu Taimiyyah: "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh." Pendapat ini dipilih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Tamamul Minnah.  (hal. 379-380).

Jika memilih pendapat ini, yang perlu diperhatikan, haruslah sangat memperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.

Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah (III/109) mengatakan, "Pada dasarnya mengeluarkan zakat fitrah harus berdasarkan nash yang ada. Tidak boleh diganti dengan harganya kecuali karena darurat, kebutuhan, atau mashlahat yang dominan. Apabila demikian maka boleh mengeluarkan dengan harganya."

Ukuran yang dikeluarkan

Dari hadits-hadits yang lalu, jelas sekali bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha'. Tapi berapa 1 sha' itu?

1 sha' sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 Mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Lalu berapa bila diukur dengan kilogram (Kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diperkirakan/ditaksir. Oleh karenanya, ulama pun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram. Dalam Shahih Fiqih Sunnah, 1 sha': 2, 157 Kg.

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz memperkirakan 3 Kg. (Fatawa al-Lajnah, 9/371).

Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 Kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429).

Siapa penerima zakat fitrah?

Para ulama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam dua pendapat: 

Pertama, Zakat fitrah hanya diberikan kepada fuqara' dan orang-orang miskin berdasarkan nash yang menyebutkan tentang hikmahnya, "Dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin." Dan penyebutan secara khusus ini menjadi dalil bahwa yang berhak menerima zakat fitrah adalah kaum miskin, bukan selain mereka. (Lihat Ithaf al-Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram, Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri: 177)

Ini adalah pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa: 25/72.

Kedua, penerima zakat fitrah adalah delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali Malikiyah. Di antara alasannya, disebutkannya sebagaian ashnaf (penerima zakat), tidak berarti menghususkan pada mereka saja.

Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat pertama, demikian menurut pengarang Shahih Fiqih Sunnah. Alasannya, karena selaras dengan disyariatkannya zakat fitrah, yaitu sebagai "makanan bagi orang-orang miskin."

Alasan lainnya, karena zakat fitrah serupa dengan kafarah. Yakni sebagai penebus atas kekurangan dan aib dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Karenanya, tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Wallahu Ta'ala A'lam. (PurWD/voa-islam.com)

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

Murottal AlQuran

Aqidah

Tanya Jawab

 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.