News Update :

Cara-cara menyampaikan ilmu

16 Desember 2011 09.45


Sesungguhnya segala puji itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Dan barang siapa disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran :102)


“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71)

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa’ : 1)

Dan aku bersaksi bahwa tiada llah kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah dan memberi nasehat kepada umat. Mudah- mudahan kesejahteraan dan keselamatan dicurahkan Allah kepada junjungan kita Muhammad saw, kepada keluarganya serta sahabat-sahabatnya,

Wa ba’du:

Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa sallam bersabda : “sampaikanlah dariku walaw satu ayat”
Hadits ini menunjukkan wajibnya kita menyampaikan ilmu tentang dienul islam kepada siapapun meskipun itu walaw satu ayat atau satu hadits.

Seorang ‘aalim di wajibkan menda’wahkan atau menyampaikan ilmu yang dimilikinya dan apa yang di fahaminya dengan salah satu di antara tiga cara: Bisa jadi dengan memulai inisiatif menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada manusia; atau bisa jadi mereka memaparkan ilmu yang ada pada mereka kepadanya, lalu dia menyetujuinya atau membenarkannya; atau bisa jadi dia menjawab mereka ketika mereka bertanya padanya.

Cara yang pertama: Seorang ‘aalim memulai inisiatip penyampaian ilmu

Inilah dia prinsip asalnya: Kami sampaikan dalil-dalilnya kemudian bentuk-bentuknya.

1. Dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya seorang ‘aalim memulai inisiatif penyampaian ilmu.
  • Firman Allah `Azza wa Jalla: "Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kalian atas kalian" (Qs Al An`aam 151)
    Telah saya sampaikan perkataan Al Qurthubi dalam menafsirkan ayat ini.
  • Firman Allah Ta`ala: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. " (Qs Al Maa-idah 67)
  • Firman Allah Ta`ala: "Dan terhadap nikmat Allah, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya." (Qs Adh Dhuhaa 11)
  • Firman Allah Ta`ala: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk bertafaqquh fid-diin (memahami urusan agama) dan supaya mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati” (Qs At Taubah 122)
    Dalam ayat ini, Allah mewajibkan sekelompok orang-orang beriman yang tafaqquh fid-dien untuk memberi peringatan kepada kaumnya.
  • Sebagian besar keadaan Nabi Saw dalam menyampaikan ilmu adalah memulai inisiatip penyampaian kepada manusia. Ibnu `Abdul Barri rhm mengeluarkan dalam kitabnya "Jaami` Bayaan al `Ilmi" bab yang menerangkan tentang "Orang alim yang memulai memulai inisiatip penyampaian ilmu kepada kawan-kawan duduknya dan perkataannya "Tanyalah padaku!", dan mendorong mereka untuk mengambil ilmu yang ada padanya". Dan dia meriwayatkan di dalamnya dengan isnadnya sekaligus perkataan Rasulullah Saw:
    (Ambillah dariku, ambillah dariku. Allah telah menjadikan bagi mereka --wanita-wanita yang melakukan hubungan sesama jenis-- jalan. Janda dengan janda, hukumnya cambuk seratus kali dan rajam dengan batu, perawan dengan perawan, hukumnya cambuk seratus kali dan pengusiran selama setahun)
    Dia meriwayatkan pula bahwa Rasulullah Saw pernah melempar jumrah pada hari Nahar di atas punggung kendaraannya, lalu beliau berkata: "Ambillah dariku tata cara ibadah haji kalian, karena sesungguhnya aku tidak tahu barangkali aku tidak bisa lagi melaksanakan ibadah haji setelah hajiku kali ini" Jaami` Bayaan al Ilmi I/113.

2. Bentuk-bentuk inisiatif penyampaian ilmu yang dilakukan oleh seorang ‘aalim.

  • Menyampaikan ilmu secara lesan, inilah prinsip asalnya, sama saja apakah hal itu dilakukan karena adanya sebab pendorong ataupun karena inisiatip. Cara penyampaian inilah yang merupakan mayoritas keadaan Nabi Saw dengan para sahabatnya, yakni beliau berinisiatip menyampaikan pengkhabaran pada mereka, sebagaimana Al Bukhari mengeluarkan hadits tersebut di bab: (Perkataan ahli hadits; Telah memberitahukan kepada kami atau telah mengkhabarkan kepada kami dan telah memberitakan kepada kami) dalam Kitaabul `Ilmi dari Shahihnya.
  • Pengajaran dengan cara: Seorang alim melemparkan pertanyaan kepada muta`allim, sebagaimana dalam pertanyaan Nabi Saw terhadap para sahabatnya tentang pohon yang beliau perumpamakan seperti seorang muslim, yakni hadits lebah. Al Bukhari telah mengeluarkan hadits ini dalam Kitaabul `Ilmi di Bab "Imam melemparkan pertanyaan kepada para sahabatnya untuk menguji ilmu yang ada pada mereka" Ibnu Abdul Barri mengeluarkan dalam kitabnya "Jaami` Bayaan al `Ilmi" di bab: "Orang alim melemparkan pertanyaan kepada muta`allim" Juz: I hal: 119.
  • Seorang alim menulis ilmu untuk orang-orang atau untuk Thalibul `ilmi (para penuntut ilmu). Di antara bentuknya adalah ijaazah dan munaawalah/penyerahan dalam periwayatan, di antaranya yang lain ialah: Penulisan kitab-kitab oleh para ulama dan periwayatannya dari mereka, seperti kitab-kitab hadits, tafsir dan fiqh. Yang menunjukkan hal di atas ialah tulisan surat Nabi Saw untuk sariyyah (ekspedisi perang) yang dipimpin oleh `Abdullah bin Jahsy ra, dan tulisan surat Nabi Saw untuk para raja manca negara di zamannya, menyeru mereka kepada Islam, sebagaimana hal itu dituturkan Al Bukhari dalam bab: "Sesuatu yang disebut dalam penyerahan, dan penulisan ilmu oleh ahli ilmu ke negeri-negeri" dalam Kitaabul `Ilmi dari Shahihnya.

    (Faedah) Inisiatip orang alim untuk menyampaikan ilmu menjadi satu kepastian: dalam kasus-kasus persoalan yang mana manusia diuji dengannya, dan untuk menolak bid`ah-bid`ah dan kesesatan-kesesatan serta memperingatkan manusia daripadanya, berdasarkan firman Allah Ta`ala: "supaya mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati”, dan berdasarkan sabda Nabi Saw "Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya " HR Muslim

    Abu Hamid Al Ghazzali rhm berkata: (Wajib di satu masjid atau di satu wilayah negeri, ada seorang faqih yang mengajari orang-orang urusan agama mereka, demikian pula di setiap desa. Dan wajib bagi setiap faqih --yang telah selesai mengerjakan kewajibannya yang fardhu `ain dan mencurahkan waktunya untuk mengerjakan kewajiban yang fardhu kifayah-- untuk pergi mendatangi masyarakat umum yang berdampingan dengan negerinya, dari etnis Arab dan etnis Kurdi dan etnis-etnis yang lain, untuk mengajarkan kepada mereka mereka urusan-urusan agama mereka dan kewajiban-kewajiban syari`at mereka. Hendaknya dia membawa bekal makanan sendiri dan tidak makan dari makanan mereka, karena pengaruhnya فإن أثرها مغصوب?? Apabila telah ada seseorang yang mengerjakan kewajiban ini, maka gugurlah dosa atas yang lain, tapi jika tidak ada yang mengerjakannya, maka dosanya akan mengena kepada kaum muslimin semua.

    Adapun orang alim, maka dosanya adalah karena kelalaian dia menyampaikan ilmu, sedangkan orang jahil, maka dosanya adalah karena kelalaiannya meninggalkan belajar --sampai dengan perkataan Al Ghazzali-- Demi hidupku, dosa yang mengena para fuqoha` adalah lebih besar, oleh karena kemampuan mereka di dalamnya lebih nyata, dan mereka pulalah yang paling layak untuk menyampaikannya." Ihyaa` `Uluumud-dien juz: 370-371.

Cara yang kedua: Orang-orang memaparkan ilmu yang ada pada mereka kepada seorang ‘aalim, lalu dia menyetujuinya atau membenarkannya.

Al Bukhari --dalam Kitaabul `Ilmi pada bab "Qiraa'ah -- mengatakan: (Al Hasan, Ats Tsauri dan Malik berpendapat bahwa qiraa`ah --membaca-- dan memaparkan kepada seorang ahli hadits-- adalah boleh. Sebagian dari mereka berhujjah dengan hadits Dhimam bin Tsa`labah untuk menyatakan bolehnya qiraa'ah pada seorang alim. Dhimam bin Tsa`labah belajar pada Nabi Saw: "Apakah Allah memerintahkan kamu mengerjakan shalat?" Beliau Saw. menjawab: "Ya benar". Al Hasan mengatakan: "Ini adalah qiraa'ah pada Nabi Saw. Dhimam memberitahukan hal tersebut kepada kaumnya, lalu mereka membolehkannya. --sampai dengan perkataannya-- dari Sufyan, dia berkata: "Apabila dibacakan sesuatu kepada seorang ahli hadits, maka tidak mengapa bagimu berkata حدثني : Telah mengkhabarkan kepadaku) Fathul Baari I/148.
Saya katakan: "Sunnah Taqririyah dianggap sebagai prinsip asal dalam hubungannya dengan pemaparan sesuatu pada seorang alim dan persetujuannya"

Cara yang ketiga: Orang ‘aalim menjawab pertanyaan para penanya.

Insyaa Allah detail keterangan masalah ini akan dibahas nanti dalam hukum-hukum Mufti dan Mustafti, di sini saya akan menyinggungnya secara singkat, untuk itu saya katakan:
"Seorang alim wajib menjawab pertanyaan penanya, berdasarkan dalil-dalil berikut:
  • Berdasarkan firman Allah Ta`ala: "Mereka bertanya padamu tentang (berperang) pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan iutu adalah dosa besar" (Qs Al Baqarah 217)
  • Dan firman Allah Ta`ala: "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakalah: "Haidh itu adalah kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci" (Qs Al Baqarah 222)

    Firman Allah Ta`ala (قـــــل) "Katakanlah" dalam ayat-ayat di atas, adalah perintah yang menunjukkan wajibnya menjawab pertanyaan penanya. Kewajiban untuk menjawab ini menjadi pasti dengan sebab ancaman yang datang dalam sabda Nabi Saw : "Siapa yang ditanya tentang satu ilmu yang diketahuinya, kemudian dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat dia akan dipasangi kekang dengan kekang api" HR. Ibnu Majah. Telah disebutkan di muka.
Kendati hukum menjawab pertanyaan penanya adalah wajib, hanya saja ada rincian penjelasan di dalamnya:
  • Menjawab pertanyaan penanya itu bisa jadi adalah fardhu kifayah apabila di tempat tersebut terdapat beberapa orang mufti, dan fardhu `ain apabila tidak terdapat mufti lain selainnya, atau terdapat yang lain, tetapi dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah yang ditanyakan.
  • Menjawab pertanyaan tadi bisa jadi tidak wajib, dan ini dalam beberapa keadaan, seperti pertanyaan penanya tentang masalah yang belum terjadi, atau pertanyaannya tentang sesuatu yang tidak berguna baginya, dan keadaan-keadaan lain yang akan saya kemukakan nanti dalam pembahasan tentang hukum-hukum mufti dan Mustafti dalam Bab Kelima dari buku ini insyaa Allah Ta`ala..
wallahu ta’ala a’lam bishshawab.

Maroji’ kitab Al Jami’ Fie Tholabul ‘Ilmi Syarif
Syaikh Abdul Qodir bin Abdul ‘Aziz
Penterjemah ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurahman
 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.