News Update :

Video Ceramah

Ibadah

Ceramah Islam

Doa Doa Shahih

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Menunaikan Zakat Kepada Saudara Kandung, Bolehkah?

02 Juli 2016 21.09


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Allah telah tetapkan 8 golongan penerima zakat di QS. Al-Taubah: 60. Tidak boleh zakat diserahkan kepada selain mereka.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, para mu’allaf, serta untuk para budak, orang-orang yang berhutang, dan pada sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang telah diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 60)
Ayat tersebut diawali dengan INNAMA yang berposisi sebagai Adatul Hashr (kata pembatas) yang memberi makna bahwa pihak-pihak penerima zakat terbatas yang disebutkan di ayat tersebut. “Karena itu, tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang atau pihak yang tidak termasuk dalam delapan golongan ini,” kata Syaikh Abu Malik Kamal di Shahih Fiqih Sunnah: 3/82)
Jika saudara kandung termasuk salah satu dari golongan penerima zakat – seperti fakir miskin atau terlilit hutang- maka boleh mengeluarkan zakat untuknya. Syaratnya, nafkah suadara tadi tidak berada di bawah tanggungannya. Bahkan menyerahkan zakat kepadanya lebih utama dari pada ke orang lain.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

“Sedekah kepada orang miskin adalah (dapat pahala,_pent) sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat ada dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturahim.” (HR. Al-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata,
يجوز أن تدفع زكاة الفطر وزكاة المال إلى الأقارب الفقراء ، بل إنَّ دفعَها إلى الأقارب أولى من دفعها إلى الأباعد ؛ لأن دفعَها إلى الأقارب صدقةٌ وصلةٌ ، لكن بشرط ألا يكون في دفعها حمايةُ ماله ، وذلك فيما إذا كان هذا الفقير تجب عليه نفقته أي على الغني ، فإنه في هذه الحال لا يجوز له أن يدفع حاجته بشيء من زكاته  لأنه إذا فعل ذلك فقد وفر ماله بما دفعه من الزكاة، وهذا لا يجوز ولا يحل.

Zakat fitrah dan zakat mal boleh diberikan kepada kerabat dekat. Bahkan memberikan zakat itu kepada kerabat dekat lebih utama daripada diberikan kepada kerabat jauh. Karena memberikan zakat kepada kerabat dekat termasuk sedekah dan silaturahim. Tetapi dengan syarat, mengeluarkan harta zakat itu bukan sebagai trik menjaga (melindungi) hartanya. Yakni, saat si fakir itu menjadi beban tanggungannya (dalam urusan nafkahnya_red), yakni si orang kaya itu. Dalam masalah ini tidak boleh memenuhi kebutuhan (tugasnya) dari zakatnya sendiri. Karena jika ia lakukan itu maka ia telah tutupi kewajiban nafkah dari hartanya dengan zakat yang telah dikeluarkannya. Ini tidak boleh dan tidak halal.” (Majmu’ fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, jilid XIX, dikutip dari situs islamwa.net)
Beliau menambahkan,
أما إذا كان لا تجب عليه نفقته، فإن له أن يدفع إليه زكاته، بل إن دفع الزكاة إليه أفضل من دفعها للبعيد لقول النبي صلى الله عليه وسلم: صدقتك على القريب صدقة وصلة

Adapun jika nafkah kerabatnya itu bukan menjadi tanggungannya, ia boleh serahkan zakatnya itu kepadanya. Bahkan, memberikan zakat kepadanya lebih utama daripada menyerahkannya kepada orang jauh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, “Sedekahmu kepada orang dekat (kerabat) adalah sedekah dan silaturahim.
Pendapat Syaikh Ibnu Bazz Rahimahullah juga serupa,
أما بقية الأقارب كالإخوة، والأعمام، وبني العم، وبني الخالة، وأشباههم، فيعطون الزكاة إذا كانوا فقراء، أو غارمين، عليهم ديون ما يستطيعون أدائها

Adapun kerabat yang lain seperti saudara kandung, paman dari pihak Bapak, saudara sepupu, dan yang serupa dengan mereka; mereka diberi zakat jika mereka miskin atau orang-orang yang berhutang, mereka punya hutang yang tak sanggup membayarnya.
Beliau berdalil dengan QS. Al-Taubah: 60 di atas. Dan zakat itu bernilai sedekah dan silaturahim.
Kesimpulanya, Kita boleh menyerahkan zakat kita kepada suadara kandung, saudara seibu atau sebapak, dan paman kita yang miskin atau terlilit hutang.  Mereka itu boleh menerima zakat dari kita. Syaratnya, nafkah saudara kita itu bukan menjadi tanggungan kita. Bahkan menunaikan zakat kepadanya lebih utama dari ke selainnya; karena memiliki keutamaan sedekah dan silaturahim. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

oleh ustadz badrul tamam

Bagaimanakah Cara Menjama' Sholat ?

27 Desember 2015 06.25




Soal : Assalamualaikum Ustadz, cara shalat dijama itu bagaimana? Kalau dari niatnya bagaimana, apa shalatnya dua rakaat saja atau seperti shalat biasa? 0856-1844-*** 

Jawab : Wa'alaikumus Salam Warahmatullah. Shalat jama' adalah menggabungkan dua shalat di satu waktu. Berlaku pada shalat Dzuhur-Ashar dan Magrib-‘Isya. Apabila dikerjakan di waktu awal disebut jama’ taqdim. Bila dikerjakan di waktu akhir disebut jama’ takhir. Misal: shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan di waktu dzuhur disebut Jama’ takdim. 

Jika dikerjakan di waktu ‘Ashar disebut jama’ takhir. Caranya, shalat Dzuhur dahulu, selesai, lalu shalat ‘Ashar. Jika hanya jama’ saja, misal dari bepergian dan sampai rumah sudah masuk waktu ‘Ashar maka ia shalat Dzuhur 4 rakaat, lalu shalat ‘Ashar 4 rakaat. Jika sampai rumahnya waktu ‘Isya, maka ia shalat Maghrib 3 rakaat lalu shalat Isya’ 4 rakaat. Jika jama’nya diperjalanan dan dia masih dalam keadaan safar, maka dia shalat dengan qashar. Yaitu meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat. 

Misalnya dia sedang dalam kondisi safar (bepergian), ia shalat Dzuhur 2 rakaat, salam, dilanjutkan shalat ‘Ashar 2 rakaat. Sedangkan pada Maghirb-‘Isya, ia shalat Maghrib 3 rakaat, salam, lalu shalat ‘Isya 2 rakaat. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com] - See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2015/11/22/40725/bagaimana-cara-menjama-shalat/#sthash.7FaNVbV0.dpuf

Hukum Mengkonsumsi Benda Najis yang Sudah Berubah

12 April 2013 07.26




Pengertian al-Istihalah (Perubahan Benda)

Benda yang berubah menjadi benda lain yang berbeda sifatnya dalam fiqh disebut dengan al-Istahalah, seperti berubahnya minyak zaitun dan lemak menjadi sabun. (Lisan al-Arab : 14/197)

Hukum al-Istihalah

Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum benda najis yang sudah berubah menjadi benda suci yang unsur dan kandungannya sudah berbeda, apakah menjadi suci atau tetap najis, seperti daging babi yang dibakar menjadi abu atau berubah menjadi garam, atau kencing yang menguap menjadi air hujan, atau khomr menjadi cuka:

Pendapat Pertama: Perubahan tersebut dihukumi suci. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad Syaibani, serta sebagian besar pengikut Abu Hanifah. Ini juga pendapat ulama Malikiyah, Ibnu Taimiyah dari Hanabilah dan Dhohiriyah. (al-Bahru ar-Raiq: 1/329)

Ibnu Taimiyah berkata: “Pendapat inilah yang benar, karena benda-benda (suci) ini tidak termasuk dalam katagori benda-benda yang diharamkan melalui teks-teks yang ada, tidak secara tekstual dan tidak juga maknanya. Bahkan sebaliknya, dia termasuk dalam katagori teks-teks yang menghalalkannya, karena sesungguhnya benda-benda tersebut merupakan sesuatu yang baik dan masuk dalam katagori yang dihalalkan, makanya nash dan qiyas menunjukkan kehalalannya.” (Majmu’ al-Fatawa: 21/70)

Para ulama Malikiyah menambahkan, jika sesuatu yang asalnya suci kemudian berubah menjadi najis, sesuatu itu dihukumi najis, seperti makanan yang berada dalam perut yang asalnya adalah suci, kemudian ketika makanan tersebut dimuntahkan dan berubah bentuknya, maka menjadi najis (asy-Syarh al-Kabir ma’a Hasyiah ad-Dasuqi: 1/51)

Adapun Alasan yang mereka gunakan sebagai berikut:

Pertama: Hukum yang dipakai adalah hukum Allah terhadap sesuatu yang Allah sebutkan namanya di dalam al-Qur’an, jika nama dan hakikat sesuatu itu sudah tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada juga. Sebagaimana garam bukanlah lagi tulang atau daging, tanah dan abu bukanlah lagi kotoran dan bangkai, khomr bukanlah cuka, manusia bukanlah darah dan seterusnya. (al-Muhalla: 1/128)

Kedua: Permasalahan ini mirip dengan khomr yang berubah sendiri menjadi cuka, maka cuka tersebut dihukumi suci menurut kesepakatan ulama, dan benda-benda lainnya hukumnya seperti itu juga. Selain itu, bisa diqiyaskan juga dengan kulit bangkai yang disamak, maka dia akan menjadi suci.

Pendapat inilah yang direkomendasi oleh an-Nadwah at-Tibbiyah al-Fiqhiyah ke-8 yang diselenggarakan oleh Organisasi Islam Untuk Ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait pada tanggal 22-24 / 12/ 1415 H, bertepatan dengan tanggal 22-24/5 1995 M. Disebutkan di dalamnya bahwa: “al-Istihalah adalah perubahan satu benda ke benda lain yang berbeda sifatnya, dan merubah status benda najis menjadi suci, dan merubah yang haram menjadi mubah secara syar’I. Oleh karena itu, diputuskan bahwa gelatin yang merupakan hasil perubahan tulang hewan najis dan kulitnya adalah suci dan boleh dimakan. Begitu juga, sabun hasil perubahan dari lemak babi atau bangkai hewan menjadi suci dengan al-istihalah dan boleh dipakai. Keju yang dibuat dari bangkai binatang yang halal dagingnya, hukumnya menjadi suci dan boleh dimakan. Adapun salep, cream, dan lipstick yang mengandung lemak babi adalah najis, tidak boleh dipakai kecuali jika terbukti bahwa lemak tersebut sudah berubah menjadi benda lain.“

Rekomendasi tersebut dikuatkan dengan keputusan an-Nadwah al-Fiqhiyah yang ke -14 yang diselenggarakan oleh Majma’ al- Fiqh al-Islami India di kota Haidar Abad pada tanggal 20-22/6/2004. Walaupun begitu, dikarenakan para pakar masih berbeda pendapat tentang gelatin ini, maka an-Nadwah menganjurkan untuk tidak menggunakan benda-benda yang terbuat dari tulang dan kulit binatang yang diharamkan.

Pendapat Kedua: Jika barang adalah najis ‘aini, seperti babi dan anjing, perubahan tersebut tidak merubah status kenajisannya. Tetapi jika barang itu tidak termasuk najis ‘aini, maka perubahan tersebut bisa merubah status najis menjadi suci, seperti kulit bangkai binatang yang pada asalnya adalah najis, namun setelah disamak, berubah statusnya menjadi suci. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyah.

Asy-Syairazi berkata: “Barang najis tidak bisa menjadi suci dengan proses al-istihalah, kecuali kulit bangkai jika disamak dan khomr …..jika kotoran dan pupuk terbakar dan berubah menjadi abu, tidaklah menjadi suci.“ (al-Muhadzab : 1/10)

Al-Khotib asy-Syarbini berkata: “Najis ‘ain itu tidak bisa berubah menjadi suci dengan dicuci atau dengan al-istihalah, seperti anjing jika masuk ke dalam pembuatan garam, kemudian berubah menjadi garam, atau anjing tersebut terbakar dan berubah menjadi abu.“ (Mughni al-Muhtaj: 1/ 81)

Pendapat Ketiga : Al-istahalah tidak bisa merubah sesuatu yang asalnya najis menjadi suci. Ini adalah pendapat Abu Yusuf, dan salah satu pendapat dalam madzhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Fathu al- Qadir: 1/ 200)

Ibnu Qudamah berkata: “Dhahir (yang tampak –ed) dari al-Madzhab (yaitu madzhab Imam Ahmad) menyatakan bahwa barang najis tidak bisa menjadi suci begitu saja dengan cara al-istihalah. Kecuali, khamr yang berubah sendiri menjadi cuka. Adapun yang lainnya hukumnya tetap najis, seperti benda-benda najis yang terbakar dan menjadi abu, begitu juga babi jika jatuh di tempat pembuatan garam kemudian menjadi garam, dan asap yang berasal dari bahan bakar najis, dan uap beterbangan yang berasal dari air najis, jika berubah menjadi embun pada suatu benda kemudian menetes, maka hukumnya tetap najis. (al- Mughni : 1/ 97)

Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Fatwa di Saudi Arabia yang memutuskan haramnya penggunaan gelatin yang terbuat dari binatang yang haram seperti babi atau dari anggota tubuhnya seperti kulit dan tulangnya. Pendapat yang serupa juga diambil oleh al- Majma’ al- Fiqh li Rabitah al-‘alam al-Islami pada pertemuan yang ke -15 yang diselenggarakan di Mekkah al-Mukaramah pada tanggal 11/7/ 1419.

Kesimpulan

Dari keterangan para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa para ulama masih berbeda pendapat tentang status kenajisan benda yang semula adalah najis, kemudian berubah menjadi benda lain yang tidak najis, apakah statusnya juga ikut berubah menjadi suci atau tetap najis?

Walaupun demikian, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, sebisa mungkin kita menghindari mengkonsumsi barang-barang yang diprediksi mengandung bahan-bahan yang najis atau haram, sebaliknya kita memilih untuk mengkonsumsi barang-barang yang jelas telah dihalalkan dalam Islam. Wallahu A’lam.

Bekasi, 11 Rabiul Awal 1434 /23 Januari 2013

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA*
*Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi. (ahmadzain.com)

Hukum Menjual Kotoran Hewan

02 November 2012 10.10




Pertanyaan :

"Ana mau tanya, bagaimana hukum jual beli kotoran ayam, kambing, sapi, atau yang semisalnya untuk dijadikan sebagai pupuk organik, apa diperbolehkan?
bagaimana jika kotoran tersebut telah diolah, dicampur-campur dengan bahan kimia, sehingga menjadi pupuk baru, apakah boleh dijual?
Syukron, jazaakallaahu khoir"

Jawab:

Para Ulama telah bersepakat bahwasanya hewan yang haram untuk dimakan maka kotorannya adalah najis. Namun mereka berselisih tentang najis tidaknya kotoran dari hewan yang boleh dimakan seperti onta, kambing, sapi, ayam dan yang lainnya.

Menurut madzhab yang masyhur dari madzhab As-Syafi'iyyah dan madzhab Al-Hanafiyah maka seluruh kotoran hewan adalah najis baik hewan yang haram untuk dimakan maupun hewan yang halal dimakan. Oleh karenanya mereka mengharamkan pula penjualan kotoran hewan karena hal itu merupakan penjualan benda najis, dan penjualan benda najis hukumnya haram. Al-Mawardi berkata :

فَأَمَّا مَا كَانَ نَجِسَ الْعَيْنِ كَالْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَالْأَرْوَاثِ وَالْأَبْوَالِ ، فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْهَا

"Adapun apa yang merupakan najis 'aini (nacis secara dzatnya) seperti khomr, bangkai, darah, dan kotoran-kotoran, serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari hal-hal ini" (Al-Haawi Al-Kabiir 5/383)

Adapun madzhab Malikiyyah dan Al-Hananbilah juga sebagian pengikut madzhab As-Syafi'iyyah (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmuu' 2/549 dan Roudhotut Toolibiin 1/125) maka mereka membedakan antara hewan yang halal dan hewan yang haram dimakan. Mereka berpendapat akan thohirnya (tidak najisnya) kotoran hewan yang halal dimakan, adapun hewan yang haram dimakan maka kotorannya adalah najis.

Dalil Madzhab Hanafi dan Madzhab As-Syafi'i

Dalil madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi  berdalil dengan hadits Ibnu Mas'ud –radhiallahu 'anhu- dimana beliau –radhiallahu 'anhu- pernah berkata:

أتى النبي صلى الله عليه وسلم الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فلم أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وقال هذا رِكْسٌ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam buang air besar, maka beliau memerintahku untuk mendatangkan bagi beliau tiga buah batu. Akupun mendapatkan dua buah batu dan aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya. Maka akupun mengambil kotoran lalu aku berikan kepada Nabi. Maka Nabipun mengambil kedua batu tersebut dan melempar kotoran tadi dan berkata, "Ini najis" (HR Al-Bukhari no 155)

Sisi pendalilan : Nabi membuang kotoran hewan tersebut karena najisnya, hal ini menunjukan bahwa seluruh kotoran hewan –termasuk hewan yang halal dimakan- adalah najis. (Lihat pendalilan Hanafiyah dengan hadits ini dalam kitab Al-Mabshuuth li As-Sarokhsi 1/108 dan badaai' As-Sonaai' 1/62)

Dalil madzhab Syafi'i

Adapun madzhab As-Syafi'iyyah maka mereka berdalil dengan tiga sisi pendalilan

Pertama : Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits Nabi tentang najisnya air kencing. Seperti hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbaas

مَرَّ النبي صلى الله عليه وسلم بِقَبْرَيْنِ فقال إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وما يُعَذَّبَانِ في كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ من الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

"Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- melewati dua kuburan, lalu ia berkata, "Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang disiksa, dan mereka berdua tidaklah disiksa karena perkara yang besar. Adapun salah satunya karena tidak menjaga diri dari air kencing dan yang kedua karena menyebarkan namimah" (HR Al-Bukhari no 215)

Sisi pendalilan : Air kencing disini disebutkan secara umum, maka mencakup seluruh air kencing termasuk air kencing hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)

Kedua : Mereka berdalil dengan firman Allah

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ

"Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" (QS Al-A'roof : 157)

Sisi pendalilan : Tidak diragukan lagi bahwasanya kotoran adalah sesuatu yang buruk, dan orang-orang Arab menganggap jijik kotoran hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)

Ketiga : Mereka juga berdalil dengan qiyas, karena kotoran hewan yang haram dimakan hukumnya najis menurut ijmaa' (kesepakatan) para ulama maka demikian juga diqiaskan pada kotoran hewan yang halal dimakan juga najis. Hal ini karena seluruh kotoran sama-sama memiliki sifat kotor (jijik) menurut tabi'at manusia yang masih normal, dikarenakan bau yang busuk. (lihat Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab 2/549 dan Fathul 'Aziz Syarhul Wajiiz 1/36)

Dalil madzhab Hanbali dan madzhab Maliki

Mereka berdalil dengan hukum asal, bahwasanya hukum asal sesutau adalah suci sampai ada dalil yang menunjukan kenajisannya (lihat As-Syarhul Mumti' 1/450), dan tidak ada dalil yang menunjukan akan kenajisannya. Bahkan ada dalil-dalil yang menunjukan akan kesuciannya. Diantaranya :

Pertama : Hadits tentang 'Uroniyyin. Dimana Nabi pernah memerintah orang-orang yang datang dari 'Uroinah yang sakit untuk berobat dengan meminum kencing onta.

وَأَنْ يَشْرَبُوا من أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

"(Nabi memerintahkan) mereka untuk meminum dari kencing onta dan susu onta" (HR Al-Bukhari no 231)

Sisi pendalilan : Kalau kecinng onta itu najis tentunya Nabi tidak akan memerintakan mereka untuk berobat dengan meminum benda najis (Lihat Al-Mughni 2/492)

Kedua : Nabi pernah sholat di kandang kambing, bahkan memerintahkan untuk sholat di kandang kambing. (Lihat Al-Mughni 2/492)
Anas bin Malik berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي قبل أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ في مَرَابِضِ الْغَنَمِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat di kandang kambing sebelum dibangun mesjid" (HR Al-Bukhari no 232)

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi :

أُصَلِّي في مَرَابِضِ الْغَنَمِ قال : نعم

"Apakah aku sholat di kandang kambing?", Nabi berkata, "Iya" (HR Muslim no 360)

Dalam suatu hadits Nabi berkata,

صَلُّوا في مَرَابِضِ الْغَنَمِ ولا تُصَلُّوا في أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ من الشَّيَاطِينِ

"Sholatlah kalian di kandang kambing, dan janganlah kalian sholat di kandang onta karena onta diciptakan dari syaitan" (HR At-Thirmidzi no 348 dan Ibnu Majah no 769)

Sisi pendalilan : Kandang kambing pasti tidak lepas dari kotoran kambing dan kencingnya, akan tetapi Nabi sholat di situ. Hal ini menunjukan bahwa kotoran kambing dan kencing kambing tidak najis, karena tidak sah sholat seseorang di tempat najis dengan kesepakatan ulama.

Dialog

Madzhab As-Syafi'i : Nabi membolehkan untuk meminum kencing onta karena untuk berobat, karena dibolehkan berobat dengan benda-benda yang najis kecuali khomr  (lihat Al-Majmuu' 2/549 dan Fathul 'Aziz 1/38)

Madzhab Hanbali : Nabi telah dengan tegas melarang berobat dengan benda-benda yang najis. Abu Huroiroh berkata

نهى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

"Rasulullah melarang dari obat yang khobiits" (HR Abu Dawud no 3870 dan Ibnu Majah no 3459, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Rasulullah juga bersabda :

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obat, maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram" (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di As-Shahihah no 1633)

Kemudian kalau seandainya kencing onta itu najis dan dibolehkan untuk diminum karena pengobatan tentunya Nabi akan memerintahkan mereka untuk membersihkan dan mencuci tempat/bejana air kencing onta tersebut (lihat Al-Mughni 2/492)

Madzhab As-Syafi'i : Memang benar boleh sholat di kandang kambing akan tetapi kandang kambing yang bersih bukan yang terkotori dengan kencing dan tahi kambing. Imam As-Syafii berkata, "Maka Nabi memerintahkan untuk sholat di tempat tambatan kambing, yaitu –Wallahu A'lam- di tempat yang bisa dinamakan sebagai tempat tidurnya  kambing yang tidak ada tahi kambingnya dan tidak ada kencing kambingnya… barangsiapa yang sholat di tempat yang ada tahi onta atau kambing atau tahi sapi atau tahi kuda atau tahi keledai maka wajib baginya untuk mengulangi sholatnya" (Al-Umm 2/209)

Madzhab Hanbali : Imam As-Syafii telah mengkhusukan apa yang tidak dikhusukan oleh Nabi, dan beliau telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir berkata,

أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ جَائِزَةٌ وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ إِذَا كَانَ سَلِيْمًا مِنْ أَبْوَالِهَا

"Mereka berijma' (sepakat) bahwasanya sholat di kandang kambing boleh, dan As-Syafi'i bersedirian (menyelisihi mereka-pent), beliau berkata : (boleh) jika kandang tersebut bersih dari kencing kambing-kambing tersebut" (Al-Ijmaa' hal 38, dan ijmaa' ini dinukil oleh Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughni 2/492)

Madzhab As-Syafii : Lantas bagaimana dengan keumuman tentang najisnya air kencing?

Madzhab Hanbali : Yang dimaksud dengan penyebutan kencing dalam hadits-hadits seperti hadits dua penghuni kubur yang disiksa adalah kencing manusia (kencing penghuni kubur itu sendiri), jadi tidak bisa dibawa ke makna umum (lihat As-Syarhul Mumti' 1/451)

Lantas bagaimana dengan hadits Ibnu Mas'ud dimana Nabi melempar kotoran hewan dan berkata : Ini najis?
Jawab : Lafal hadits sbb

فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها

"Maka akupun mengambil sebuah kotoran, lalu aku membawanya ke Nabi"

Kalimat رَوْثَةً "kotoran" datang dalam bentuk nakiroh (bertanwin), dan dalam kadiah ushul fiqh bahwasanya jika kalimat nakiroh datang dalam konteks kalimat positif maka memberikan faedah muthlaq. Jadi kalimat رَوْثَةً tidaklah menunjukan keumuman yang mencakup seluruh kotoran, akan tetapi maksudnya kotoran tertentu. Maka kita bawakan kepada kotoran dari hewan yang haram dimakan. Wallahu A'lam

Kesimpulan :

Dari penjelasan di atas maka Nampak kekuatan dalil yang dikemukakan oleh madzhab Hanbali dan madzhab Maliki. Jika kita menguatkan pendapat mereka –bahwasanya kotoran kambing dan ayam adalah suci- maka tentunya boleh menjual benda yang suci jika bermanfaat. Apalagi jelas manfaat kotoran-kotoran tersebut untuk pupuk kandang.

Syaikh Sholeh Al-Fauzaan pernah ditanya :

نحن نملك عددًا من الأغنام، وما ينتج من فضلات وروث أجلكم الله نجمعه ونكدسه، ولأننا لا نملك مزارع لنستفيد منه؛ فإننا نسأل : هل يجوز بيعها ويحل أكل ثمنه أم لا يجوز ؟

"Kami memiliki sejumlah ekor kambing, dan kami mengumpulkan kotoran kambing-kambing tersebut lalu kami menimbunnya. Karena kami tidak memliki perkebunan yang bisa memanfaatkan kotoran-kotoran tersebut, maka kami bertanya : Apakah boleh menjual kotoran-kotoran tersebut dan apakah halal memakan hasil penjualannya?, ataukah tidak boleh?"

Syaikh Sholeh Al-Fauzaan menjawab:

لا بأس ببيع السماد الطاهر؛ مثل سماد الأغنام والإبل والبقر . . . فروث ما يؤكل لحمه طاهر، وبيعه لا بأس به، وثمنه مباح لا حرج فيه، إنما الذي فيه الاشتباه والإشكال هو السماد النجس أو المتنجس، هذا هو الذي فيه الإشكال والخلاف، أما السماد الطاهر؛ فلا بأس باستعماله، ولا بأس ببيعه وأكل ثمنه

"Tidak mengapa menjual pupuk yang thoohir (suci dan tidak najis-pent) seperti pupuk dari kotoran kambing, pupuk dari kotoran onta, dan pupuk dari kotoran sapi. Karena hewan yang bisa  dimakan dagingnya tahi (kotoran)nya itu thohir (suci) dan boleh menjualnya. Hasil jualannya juga halal dan tidak mengapa. Hanyalah yang masih ada syubhatnya dan permasalahan adalah pupuk yang najis atau ternajisi, inilah yang masih ada permasalahan dan khilaf. Adapun pupuk yang suci (thoohir) maka tidak mengapa dimanfaatkan, dan tidak mengapa dijual dan hasil penjualannya boleh untuk dimakan"

(Dari Al-Muntaqoo min Fataawaa Al-Fauzaan, fatwa dari pertanyaan no 302)

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 19 Syawal 1431 H / 28 September 2010 M

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Kitab Rujukan ;
1.    Al-Ijmaa', Muhammad bin Ibrohim bin Mundzir, tahqiq : DR Abu Hammad Sogir, Maktabah Al-Furqoon, cetakan kedua (1420 H-1999 M)
2.    Al-Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq : Abdullah bin Abdilmuhsin At-Turki dan Abdul Fattaah Muhammad, Daar 'Aalam Al-Kutub, cetakan ketiga (1417 H-1997 M)
3.    Al-Umm, Imam As-Syafi'i, tahqiq : DR Rif'at Fauzi Abdul Muttholib, Daar Al-Wafaa', cetakan pertama (1422 H-2001 M)
4.    Fathul 'Aziz syarh Al-Wajiiz (As-Syarh Al-Kabiir), Abdul Kariim bin Muhammad Ar-Rofi'i, tahqiq : Ali Muhammad Mu'awwadh, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, cetakan pertama (1417 H-1997 M)
5.    As-Sayrhul Mumti', Muhammad bi Sholeh Al-'Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi, cetakan pertama (1422 H)
6.    Al-Haawi Al-Kabiir fi Fiqhi madzhab Al-Imaam As-Syafi'i, Al-Maawardi, tahqiq : Ali Muhammad Mu'awwad dan Adi Ahmad Abdul Maujuud, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, cetakan pertama (1414 H-1994 M)

Dropshipping: Usaha Tanpa Modal dan Alternatif Transaksinya yang Sesuai Syariat

05 Oktober 2012 07.45


Saya mau jadi pengusaha, tapi untuk buka usaha 'kan butuh modal”, kata Fulan.
Saya yakin, masih banyak di antara kita yang berpendapat demikian. Pada umumnya, alasan yang sering membuat ragu seseorang untuk melangkah menjadi wiraswasta adalah keterbatasan modal atau keterbatasan keterampilan. Ada pula alasan ingin menjadi wiraswasta tetapi status masih menjadi karyawan dan masih berat hati meninggalkan zona nyaman. Di sini, saya akan sedikit menyinggung usaha yang menurut saya hampir tidak memerlukan modal, serta relatif aman dari risiko kerugian. Usaha apa itu?

Dropshipping

Pengertian "dropshipping" adalah penjualan produk yang memungkinkan dropshipper (reseller) menjual barang ke pelanggan dengan bermodalkan foto dari supplier/toko (tanpa harus menyetok barang) dan menjual ke pelanggan dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper.

Setelah pelanggan mentransfer uang ke rekening dropshipper, dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pelanggan) serta memberikan data-data pelanggan (nama, alamat, no. ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan akan dikirim oleh supplier ke pelanggan/pembeli. Namun, yang menarik, nama pengirim yang tercantum tetaplah nama si dropshipper.

Jadi, intinya ada 3 komponen yang terlibat di sini, yaitu: dropshipper, supplier, dan pembeli. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada skema di bawah ini:


Dropshipping bisa dilakukan dengan melakukan penawaran secara offline. Namun, pada umumnya, penawaran dilakukan secara online, dengan memasang katalog produk dari supplier. Jika kita memiliki toko-online, kita hanya perlu memasang foto produk dari supplier ke toko-online kita. Jika kita belum punya toko-online, kita masih bisa memanfaatkan situs jual beli online, semacam kaskus.us, tokobagus.com, tokopedia.com, id.ebay.com, atau situs BursaMuslim.com.

Secara umum, model kerjasama antara dropshipper dengan toko/supplier ada 2 macam.

Pertama, supplier memberikan harga ke dropshipper, kemudian dropshipper dapat menjual barang kepada konsumen dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipper.

Kedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.
Selain mendapat keuntungan dari fee yang diberikan supplier, masih banyak hal lain yang menjadi keuntungan dropshipper, di antaranya:
  • Tidak perlu investasi modal yang besar.
  • Tidak membutuhkan kantor dan gudang untuk persediaan.
  • Tidak perlu pendidikan tinggi (minimal bisa ber-SMS/menggunakan internet/mengoperasikan perhitungan matematika penjumlahan).
  • Tidak perlu melakukan packing dan pengantaran produk.
  • Di mana pun Anda berada, Anda masih bisa berjualan.
  • Sangat mudah dijalankan oleh siapa pun.
  • Tidak terikat waktu. Anda dapat menjalankan bisnis ini dengan santai, mau sambil tiduran, sambil jaga anak, sambil sekolah/kuliah/kerja kantoran, atau mengerjakan tugas lainnya.
  • Dan sebagainya.

Tips bagi dropshipper

Menjadi dropshipper--sepintas--memang mudah. Akan tetapi, bagi pemula yang ingin mencoba menjadi dropshipper ada beberapa tips.
  1. Pilihlah produk yang memang kita minati. Kita memang perlu cepat mengambil peluang, namun tidak semua peluang perlu kita ambil. Akan lebih menyenangkan jika kita memasarkan barang yang memang kita minati dan kita ketahui manfaatnya.
  2. Pastikan reputasi supplier. Prinsip kejujuran tetap harus menjadi landasan utama sebagai pengusaha muslim. Jangan sampai, ternyata kita bekerja sama dengan supplier yang tidak jujur atau memberikan produk yang tidak layak.
  3. Pahami sebaik-baiknya produk yang akan dipasarkan. Hal ini penting untuk mengantisipasi jika ada masalah pada pembeli terkait produk yang kita beli. Tidak jarang, calon pembeli menanyakan hal-hal detail dari produk sebelum membeli, sehingga kita dapat menjelaskan dengan baik jika kita paham akan produk kita.
  4. Akan lebih baik lagi jika kita pun memiliki sampel produk yang kita pasarkan. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan permasalahkan yang mungkin timbul. Selain itu, sampel produk bisa kita manfaatkan untuk promosi offline.

Dropshipping bisa menjadi salah satu alternatif bagi yang ingin berwiraswasta tetapi masih belum memiliki modal, skill, atau pun keberanian untuk mengambil banyak risiko. Paling tidak, dengan usaha kecil-kecilan semacam dropship, kita bisa membangun "mental dagang", melatih sikap berhadapan dengan konsumen, belajar menggali ide marketing secara nyata, serta perlahan-lahan membangun visi sebagai pengusaha sehingga memiliki gambaran jika nantinya akan beralih dari karyawan menjadi pengusaha.
Namun, usaha yang kita lakukan harus sesuai syariat jika ingin mendapat berkah. Karena itu, kita tidak boleh melanggar batasan-batasan syariat Islam.
Penulis: Bagas Baskoro, S.T.
--
Catatan Redaksi (oleh Ustadz Ammi Nur Baits):

Terdapat sebuah hadis dari Hakim bin Hizam, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.”

(H.R. Abu Daud dan Nasa'i; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Hadis di atas secara tegas melarang kita menjual barang yang tidak kita miliki. Imam Al-Baghawi mengatakan, “Larangan dalam hadis ini adalah larangan menjual barang yang tidak dimiliki penjual.” (Syarh Sunnah, 8:140)

Dari keterangan yang diuraikan Penulis tentang dropshipping, bisa ditegaskan bahwa dropshipping termasuk sistem jual beli yang tercakup dalam larangan hadis di atas, karena dropshipper sama sekali tidak memiliki barang yang ada di supplier. Namun, dalam kondisi yang sama, dia menjual barang milik supplier. Ini artinya, dropshipper menjual barang yang bukan miliknya.

Sebagai alternatif lain, jual beli model dropshipping ini bisa dimodifikasi, sehingga diperbolehkan secara syariat.

Alternatif pertama, harga barang tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier (pemilik barang). Dropshipper hanya menjalankan marketing, dan dia mendapat fee (upah) dari setiap barang yang terjual. Transaksi semacam ini, dalam fikih muamalah, disebut transaksi "ju'alah" (jual jasa). Dropshipper menjual jasa pemasaran, dan dia mendapat upah dari jasa pemasarannya.

Alternatif kedua, dropshipper menentukan harga barang sendiri, namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari supplier. Kemudian, baru dikirim ke pembeli. Namun, dalam transaksi ini, ada satu catatan penting, bahwa pembeli yang sudah membeli barang dari dropshipper diberi hak penuh untuk membatalkan akad sebelum barang dikirim. Transaksi semacam ini disebut "bai' al-murabahah lil amir bisy-syira'".

Alternatif ketiga, pembeli mengirimkan uang tunai kepada dropshipper seharga barang yang hendak dia beli, kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli. Kemudian dropshipper membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh dropshipper. Dan semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh dropshipper. Intinya di sini, dropshipper sudah membeli barang tersebut dari supplier. Sistem semacam ini disebut "bai' salam" (jual beli salam).

Hukum Jual Beli Melalui Katalog atau Foto di Internet

07.32




Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Sebagian orang agak sedikit rancu dengan jual beli salam dan jual beli barang yang belum dimiliki. Ada yang masih bingung sehingga ia anggap bahwa jual beli salam semacam di internet yang hanya dengan memajang katalog barang yang akan dijual, itu tidak dibolehkan karena dianggap termasuk larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang tidak dimiliki ketika akad. Inilah bahasan yang ingin kami angkat pada kesempatan kali ini.

Semoga pembahasan singkat ini bisa menjawab kerancuan yang ada. Pengertian Transaksi Salam Jual beli salam (biasa pula disebut “salaf”) adalah jual beli dengan uang di muka secara kontan sedangkan barang dijamin diserahkan tertunda.Istilahnya adalah pembeli itu pesan dengan menyerahkan uang terlebih dahulu, sedangkan penjual mencarikan barangnya walaupun saat itu barang tersebut belum ada di tangan penjual. Jual beli salam dibolehkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama). 

Bolehnya Transaksi Salam Ayat yang menyebutkan bolehnya hal ini adalah firman Allah Ta’ala, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) 

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, 

أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى) 

 “Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas menyebutkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) (HR. Al Baihaqi 6/18, Al Hakim 2/286 dan Asy Syafi’i dalam musnadnya no. 597.

Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya) Ibnu’ Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- juga mengatakan, 

قَدِمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »

“Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf (salam), yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mempraktekkan salam dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604) 

Adapun dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau -rahimahullah- mengatakan,

 أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز. 

“Setiap ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijma’) tentang bolehnya jual beli salam.”[1] Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual beli semacam ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk melakukan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan tertunda seperti yang ditemukan dalam akad salam, dengan syarat tanpa ada perselisihan antara penjual dan pembeli. 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al Baqarah: 282). Utang termasuk pembayaran tertunda dari harta yang dijaminkan. Maka selama barang yang dijual disebutkan ciri-cirinya yang jelas dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula pembeli sudah percaya sehingga ia pun rela menyerahkan uang sepenuhnya kepada penjual, namun barangnya tertunda, maka ketika itu barang tersebut boleh diserahkan tertunda. 

Inilah yang dimaksud dalam surat Al Baqarah ayat 282 sebagaimana diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”[2] Apakah Akad Salam Sama Dengan Jual Beli Barang yang Bukan Milikmu? Mengenai larangan menjual barang yang tidak dimiliki telah disebutkan dalam hadits Hakim bin Hizam. Ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ « لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ».

“Wahai Rasulullah, seseorang mendatangiku lantas ia menginginkan dariku menjual barang yang bukan milikku. Apakah aku harus membelikan untuknya dari pasar?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, At Tirmidzi) 

Perlu diketahui bahwa maksud larangan hadits di atas adalah jual beli sesuatu yang sudah tertentu yang bukan miliknya ketika akad itu berlangsung. Sebagaimana diterangkan dalam Syarhus Sunnah, “Yang dimaksud dalam hadits di atas adalah jual beli barang yang sudah tertentu (namun belum dimiliki ketika akad berlangsung), dan ini bukanlah dimaksudkan larangan jual beli dengan menyebutkan ciri-ciri barang (sebagaimana terdapat dalam akad salam). Oleh karena itu, transaksi salam itu dibolehkan dengan menyebutkan ciri-ciri barang yang akan dijual asalkan terpenuhi syarat-syaratnya walaupun belum dimiliki ketika akad berlangsung. 

Sedangkan contoh jual beli barang yang tidak dimiliki yang terlarang seperti jual beli budak yang kabur, jual beli barang sebelum diserahterimakan, dan yang semakna dengannya adalah jual beli barang orang lain tanpa seizinnya karena pada saat ini tidak diketahui bahwa yang memiliki barang tersebut mengizinkan ataukah tidak.”[3] Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam tidaklah masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai jual beli yang bukan miliknya. 

Larangan tersebut terdapat dalam hadits Hakim bin Hizam, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” Yang dimaksud larangan yang disebutkan dalam hadits ini adalah larangan menjual harta yang mampu diserahterimakan ketika akad. Karena barang yang mampu diserahterimakan ketika akad dan ia tidak memilikinya saat itu, maka jika ia jual berarti hakekatnya barang tersebut tidak ada. Sehingga jual beli semacam ini menjadi jual beli ghoror (ada unsur ketidakjelasan). 

Sedangkan jual beli barang yang disebutkan ciri-cirinya dan sudah dijaminkan oleh penjual, serta penjual mampu menyerahkan barang yang sudah dipesan sesuai waktu yang ditentukan, maka jual beli semacam ini tidaklah masalah.”[4] Contoh riil jual beli salam adalah seperti kita lihat pada jual beli di internet baik dengan brosur, katalog atau toko online. Jual beli semacam ini menganut jual beli sistem salam. Penjual hanya memajang kriteria atau ciri-ciri barang yang akan dijual, sedangkan pembeli diharuskan untuk menyerahkan uang pembayaran lebih dahulu dan barangnya akan dikirim setelah itu. Jual beli semacam ini tidaklah masalah selama syarat-syarat transaksi salam dipenuhi. 

Sedangkan jual beli barang yang tidak dimiliki ketika akad berlangsung, seperti ketika seseorang meminjam HP milik si A, lalu ia katakan pada si B (tanpa izin si A), “Saya jual HP ini untukmu”.Ini tidak dibolehkan karena si pemilik HP (si A) belum tentu mengizinkan HP tersebut dijual kepada yang lain (si B). Ini sama saja orang tersebut menjual HP yang bukan miliknya karena tidak adanya izin dari si pemilik barang. Namun jika dengan izin si pemilik beda lagi statusnya. Semoga contoh yang sederhana ini dapat memberikan kepahaman. 

Jadi jual beli salam dimaksudkan yang dijual adalah ciri-ciri atau sifat barang, sedangkan larangan jual beli barang yang belum dimiliki yang dimaksud adalah barang tersebut sudah ditentukan, namun belum jadi milik si penjual. Semoga Allah beri kepahaman. Syarat Transaksi Salam Setelah kita mengetahui bolehnya transaksi salam, transaksi dibolehkan tentu saja dengan memenuhi syarat-syarat. Syarat yang dipenuhi adalah berkenaan dengan upah yang diserahkan pembeli dan berkaitan dengan akad salam. 

Syarat yang berkaitan dengan upah yang diserahkan pembeli adalah: [1] jelas jenisnya; [2] jelas jumlahnya, [3] diserahkan secara tunai ketika akad berlangsung (tidak boleh dengan pembayaran tertunda)[5]. 

Syarat yang berkaitan dengan akad salam adalah: [1] sudah dijamin oleh penjual; [2] barang yang dijual diketahui ciri-cirinya dan jumlahnya sehingga bisa dibedakan dengan yang lain; [3] kapan barang tersebut sampai ke pembeli harus jelas waktunya.[6] 

Demikian sedikit penjelasan kami mengenai akad salam dan sedikit kerancuan mengenai jual beli barang yang tidak dimiliki. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. 

www.rumaysho.com 
Panggang-GK, 25 Jumadits Tsani 1431 H (07/06/2010) Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Note:
========================================================
[1] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/122, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, Lebanon. 
[2] Fiqh Sunnah, 3/123. 
[3] ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 9/291, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, 1415.
[4] Fiqh Sunnah, 3/123-124.
[5] Syarat ketiga ini wajib dipenuhi karena inilah syarat yang disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan oleh Asy Syaukani dan muridnya –Shidiq Hasan Khon-. (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1422)
[6] Lihat Fiqh Sunnah, 3/124.

Jual Beli dan Syarat-Syaratnya

05.59




Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
Definisi Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).
Dalil Disyari’atkannya Jual Beli 
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah

Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
  • Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
    “… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
  • Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
  • Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
  • Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
  • لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
    “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
    Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
  • Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
  • Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
  • Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
    “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
    Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
    مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
    “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)

Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.
Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Ceramah Islam Bab Hukum di dalam Masjid Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

04 September 2012 20.00




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Hukum di dalam Masjid yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Hukum di dalam Masjid

Ceramah Islam Bab Hukum, Hadits 241 - 242 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

19.58




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Hukum, Hadits 241 - 242 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Hukum, Hadits 241 - 242

Ceramah Islam Bab Shalat, Hadits 172-175 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

03 September 2012 00.45




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Shalat, Hadits 172-175 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Shalat, Hadits 172-175

Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 152 - 156 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

30 Agustus 2012 08.29




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 152 - 156 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 152 - 156

Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 149 - 151 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

08.27




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 149 - 151 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 149 - 151

Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 145 - 149 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

08.25




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 145 - 149 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Adzan dan Iqomah; Hadits 145 - 149

Ceramah Islam Bab Waktu-Waktu Shalat; Hadits 138 - 144 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

24 Agustus 2012 10.32




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Waktu-Waktu Shalat; Hadits 138 - 144 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Waktu-Waktu Shalat; Hadits 138 - 144

Ceramah Islam Bab Shalat, Hadis 132 - 137 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

17 Agustus 2012 13.01




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Shalat, Hadis 132 - 137 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Shalat, Hadis 132 - 137

Ceramah Islam Bab Shalat, Hadis 128 - 131 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

12.57






Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Shalat, Hadis 128 - 131 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Shalat, Hadis 128 - 131

Ceramah Islam Bab Darah Haidh; Hadis 117 - 127 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

16 Agustus 2012 05.44




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Darah Haidh; Hadis 117 - 127 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Darah Haidh; Hadis 117 - 127

Ceramah Islam Bab Tayammum; Hadis 109 - 113 Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah

05.42




Assalaamu'alaikum sobat babahe semuanya, disini abah ingin memberikan rekaman ceramah islam tentang  Bab Tayammum; Hadis 109 - 113 yang akan di sampaikan oleh beliau Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah .  Bagi teman² yang ingin mendownload file audionya silahkan download dibawah ini :

Download Ceramah Islam Bab Tayammum; Hadis 109 - 113

Mengapa Tak Boleh Menolak Ajakan Suami

15 Agustus 2012 14.11




“Bila seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu Hurairah).

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).

Dunia medis modern merinci bahwa ada perbedaan mendasar antara kebutuhan biologis antara laki-laki dan perempuan. Islam, 1500 tahun yang lalu, sudah terlebih dahulu menjelaskan ini secara teramat sederhana dan padat.

Perbedaan seksualitas pria dan wanita dari segi medis

Dorongan seksual wanita cenderung berhubungan dengan siklus haid, sedangkan dorongan pria cukup konstan. Hormon testoteronlah yang merupakan faktor utama dalam menstimulasi dorongan seksual, wanita lebih banyak distimulasi oleh sentuhan dan kata-kata romantis. Ia lebih tertarik dengan kepribadian seorang pria.

Sementara para pria tertarik dari apa yang dilihatnya. Pria tidak membeda-bedakan kepada siapa ia tertarik secara fisik dan tidak membutuhkan banyak waktu pemanasan untuk melakukan hubungan seks. Tetapi, wanita sering kali membutuhkan waktu berjam-jam persiapan emosional dan mental.

Itu sebabnya, seorang suami dianjurkan untuk pulang menemui istrinya jika di perjalanan atau di luar rumah, ia menemukan “sesuatu yang ia lihat begitu menggoda.” Ini tentu untuk menjauhkan seorang suami dari perbuatan zina.

Sedangkan pada wanita polanya lebih cenderung dimulai pada ikatan emosional, saling sayang dan peduli. Setelah mereka merasakan hal itu, barulah kemudian muncul gairah dan ketertarikan akan seks.

Saking pentingnya memenuhi panggilan suami ini, seorang bahkan harus meninggalkan semua pekerjaannya saat itu ketika suaminya membutuhkan dirinya. Meskipun kondisi sedang haidh, sebab memenuhi panggilan suami ke ranjang tidak mesti melayaninya berjima’, namun boleh juga hanya untuk bersenang-senang, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul kita Muhammad.

Rasul bersama istrinya disaat haidh, beliau menutup bagian bawah istrinya dengan kain lalu bersenang-senang dengan istrinya.

Dan tentu syariat Islam juga memberikan keringanan kepada seorang istri jika benar-benar memiliki alasan yang syar’i untuk menolak dengan “halus” ajakan suami (jima’), seperti ketika haidh, berpuasa Ramadhan atau mengqadhanya, saat ihram atau mungkin istri sedang sakit, atau kelelahan yang membuat tidak mampu melayaninya. Faktor terpenting adalah komunikasi yang sehat dengan suami dalam hal ini.

Untuk itulah bila sampai terjadi penolakan sang istri memenuhi panggilan ranjang suaminya maka itu adalah satu kemaksiatan yang nyata dan sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya. Sebab kemarahan suami mengakibatkan kemurkaan Allah Ta’ala dan pelaknatan para malaikat terhadap sang istri. Wallahu ‘alam. (zafaran/islampos/muslimahzone.com)

Murottal AlQuran

Aqidah

Tanya Jawab

 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.