Pertanyaan :
"Ana
mau tanya, bagaimana hukum jual beli kotoran ayam, kambing, sapi, atau
yang semisalnya untuk dijadikan sebagai pupuk organik, apa
diperbolehkan?
bagaimana jika kotoran tersebut telah diolah,
dicampur-campur dengan bahan kimia, sehingga menjadi pupuk baru, apakah
boleh dijual?
Syukron, jazaakallaahu khoir"
Jawab:
Para
Ulama telah bersepakat bahwasanya hewan yang haram untuk dimakan maka
kotorannya adalah najis. Namun mereka berselisih tentang najis tidaknya
kotoran dari hewan yang boleh dimakan seperti onta, kambing, sapi, ayam
dan yang lainnya.
Menurut madzhab yang masyhur dari madzhab
As-Syafi'iyyah dan madzhab Al-Hanafiyah maka seluruh kotoran hewan
adalah najis baik hewan yang haram untuk dimakan maupun hewan yang halal
dimakan. Oleh karenanya mereka mengharamkan pula penjualan kotoran
hewan karena hal itu merupakan penjualan benda najis, dan penjualan
benda najis hukumnya haram. Al-Mawardi berkata :
فَأَمَّا مَا كَانَ نَجِسَ الْعَيْنِ
كَالْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَالْأَرْوَاثِ وَالْأَبْوَالِ ،
فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْهَا
"Adapun apa yang merupakan najis
'aini (nacis secara dzatnya) seperti khomr, bangkai, darah, dan
kotoran-kotoran, serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari
hal-hal ini" (Al-Haawi Al-Kabiir 5/383)
Adapun madzhab Malikiyyah dan Al-Hananbilah juga sebagian pengikut
madzhab As-Syafi'iyyah (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Majmuu' 2/549 dan Roudhotut Toolibiin 1/125) maka mereka membedakan
antara hewan yang halal dan hewan yang haram dimakan. Mereka berpendapat
akan thohirnya (tidak najisnya) kotoran hewan yang halal dimakan,
adapun hewan yang haram dimakan maka kotorannya adalah najis.
Dalil
Madzhab Hanafi dan Madzhab As-Syafi'i
Dalil
madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi berdalil dengan hadits Ibnu
Mas'ud –radhiallahu 'anhu- dimana beliau –radhiallahu 'anhu- pernah
berkata:
أتى النبي صلى الله عليه وسلم
الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ
حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فلم أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً
فَأَتَيْتُهُ بها فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وقال هذا
رِكْسٌ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam buang air besar, maka beliau memerintahku untuk mendatangkan bagi
beliau tiga buah batu. Akupun mendapatkan dua buah batu dan aku mencari
batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya. Maka akupun mengambil
kotoran lalu aku berikan kepada Nabi. Maka Nabipun mengambil kedua batu
tersebut dan melempar kotoran tadi dan berkata, "Ini najis" (HR
Al-Bukhari no 155)
Sisi pendalilan : Nabi membuang
kotoran hewan tersebut karena najisnya, hal ini menunjukan bahwa seluruh
kotoran hewan –termasuk hewan yang halal dimakan- adalah najis. (Lihat
pendalilan Hanafiyah dengan hadits ini dalam kitab Al-Mabshuuth li
As-Sarokhsi 1/108 dan badaai' As-Sonaai' 1/62)
Dalil
madzhab Syafi'i
Adapun madzhab As-Syafi'iyyah maka mereka
berdalil dengan tiga sisi pendalilan
Pertama :
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits Nabi tentang najisnya air
kencing. Seperti hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbaas
مَرَّ النبي صلى الله عليه وسلم
بِقَبْرَيْنِ فقال إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وما يُعَذَّبَانِ في كَبِيرٍ
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ من الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ
فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
"Nabi –shallallahu 'alaihi wa
sallam- melewati dua kuburan, lalu ia berkata, "Sesungguhnya kedua
penghuni kuburan ini sedang disiksa, dan mereka berdua tidaklah disiksa
karena perkara yang besar. Adapun salah satunya karena tidak menjaga
diri dari air kencing dan yang kedua karena menyebarkan namimah" (HR
Al-Bukhari no 215)
Sisi pendalilan : Air kencing disini
disebutkan secara umum, maka mencakup seluruh air kencing termasuk air
kencing hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)
Kedua
: Mereka berdalil dengan firman Allah
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ
"Dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk" (QS Al-A'roof : 157)
Sisi pendalilan : Tidak diragukan
lagi bahwasanya kotoran adalah sesuatu yang buruk, dan orang-orang Arab
menganggap jijik kotoran hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu'
2/549)
Ketiga : Mereka juga berdalil dengan qiyas, karena kotoran
hewan yang haram dimakan hukumnya najis menurut ijmaa' (kesepakatan)
para ulama maka demikian juga diqiaskan pada kotoran hewan yang halal
dimakan juga najis. Hal ini karena seluruh kotoran sama-sama memiliki
sifat kotor (jijik) menurut tabi'at manusia yang masih normal,
dikarenakan bau yang busuk. (lihat Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab 2/549
dan Fathul 'Aziz Syarhul Wajiiz 1/36)
Dalil madzhab
Hanbali dan madzhab Maliki
Mereka berdalil dengan hukum
asal, bahwasanya hukum asal sesutau adalah suci sampai ada dalil yang
menunjukan kenajisannya (lihat As-Syarhul Mumti' 1/450), dan tidak ada
dalil yang menunjukan akan kenajisannya. Bahkan ada dalil-dalil yang
menunjukan akan kesuciannya. Diantaranya :
Pertama :
Hadits tentang 'Uroniyyin. Dimana Nabi pernah memerintah orang-orang
yang datang dari 'Uroinah yang sakit untuk berobat dengan meminum
kencing onta.
وَأَنْ يَشْرَبُوا من أَبْوَالِهَا
وَأَلْبَانِهَا
"(Nabi memerintahkan) mereka
untuk meminum dari kencing onta dan susu onta" (HR Al-Bukhari no 231)
Sisi pendalilan : Kalau kecinng onta
itu najis tentunya Nabi tidak akan memerintakan mereka untuk berobat
dengan meminum benda najis (Lihat Al-Mughni 2/492)
Kedua :
Nabi pernah sholat di kandang kambing, bahkan memerintahkan untuk
sholat di kandang kambing. (Lihat Al-Mughni 2/492)
Anas bin Malik
berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي
قبل أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ في مَرَابِضِ الْغَنَمِ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam sholat di kandang kambing sebelum dibangun mesjid" (HR Al-Bukhari
no 232)
Seorang sahabat pernah bertanya
kepada Nabi :
أُصَلِّي في مَرَابِضِ الْغَنَمِ قال :
نعم
"Apakah aku sholat di kandang
kambing?", Nabi berkata, "Iya" (HR Muslim no 360)
Dalam suatu hadits Nabi berkata,
صَلُّوا في مَرَابِضِ الْغَنَمِ ولا
تُصَلُّوا في أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ من الشَّيَاطِينِ
"Sholatlah kalian di kandang
kambing, dan janganlah kalian sholat di kandang onta karena onta
diciptakan dari syaitan" (HR At-Thirmidzi no 348 dan Ibnu Majah no 769)
Sisi pendalilan : Kandang kambing
pasti tidak lepas dari kotoran kambing dan kencingnya, akan tetapi Nabi
sholat di situ. Hal ini menunjukan bahwa kotoran kambing dan kencing
kambing tidak najis, karena tidak sah sholat seseorang di tempat najis
dengan kesepakatan ulama.
Dialog
Madzhab
As-Syafi'i : Nabi membolehkan untuk meminum kencing onta karena untuk
berobat, karena dibolehkan berobat dengan benda-benda yang najis kecuali
khomr (lihat Al-Majmuu' 2/549 dan Fathul 'Aziz 1/38)
Madzhab
Hanbali : Nabi telah dengan tegas melarang berobat dengan benda-benda
yang najis. Abu Huroiroh berkata
نهى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
عن الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
"Rasulullah melarang dari obat
yang khobiits" (HR Abu Dawud no 3870 dan Ibnu Majah no 3459, dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Rasulullah juga bersabda :
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ
وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah menciptakan
penyakit dan obat, maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat
dengan sesuatu yang haram" (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
di As-Shahihah no 1633)
Kemudian kalau seandainya kencing
onta itu najis dan dibolehkan untuk diminum karena pengobatan tentunya
Nabi akan memerintahkan mereka untuk membersihkan dan mencuci
tempat/bejana air kencing onta tersebut (lihat Al-Mughni 2/492)
Madzhab As-Syafi'i : Memang benar
boleh sholat di kandang kambing akan tetapi kandang kambing yang bersih
bukan yang terkotori dengan kencing dan tahi kambing. Imam As-Syafii
berkata, "Maka Nabi memerintahkan untuk sholat di tempat tambatan
kambing, yaitu –Wallahu A'lam- di tempat yang bisa dinamakan sebagai
tempat tidurnya kambing yang tidak ada tahi kambingnya dan tidak ada
kencing kambingnya… barangsiapa yang sholat di tempat yang ada tahi onta
atau kambing atau tahi sapi atau tahi kuda atau tahi keledai maka wajib
baginya untuk mengulangi sholatnya" (Al-Umm 2/209)
Madzhab Hanbali : Imam As-Syafii
telah mengkhusukan apa yang tidak dikhusukan oleh Nabi, dan beliau telah
menyelisihi kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir berkata,
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ
فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ جَائِزَةٌ وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ
إِذَا كَانَ سَلِيْمًا مِنْ أَبْوَالِهَا
"Mereka berijma'
(sepakat) bahwasanya sholat di kandang kambing boleh, dan As-Syafi'i
bersedirian (menyelisihi mereka-pent), beliau berkata : (boleh) jika
kandang tersebut bersih dari kencing kambing-kambing tersebut"
(Al-Ijmaa' hal 38, dan ijmaa' ini dinukil oleh Ibnu Qudaamah dalam
Al-Mughni 2/492)
Madzhab As-Syafii : Lantas bagaimana
dengan keumuman tentang najisnya air kencing?
Madzhab Hanbali : Yang
dimaksud dengan penyebutan kencing dalam hadits-hadits seperti hadits
dua penghuni kubur yang disiksa adalah kencing manusia (kencing penghuni
kubur itu sendiri), jadi tidak bisa dibawa ke makna umum (lihat
As-Syarhul Mumti' 1/451)
Lantas bagaimana dengan hadits Ibnu
Mas'ud dimana Nabi melempar kotoran hewan dan berkata : Ini najis?
Jawab
: Lafal hadits sbb
فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها
"Maka akupun mengambil sebuah
kotoran, lalu aku membawanya ke Nabi"
Kalimat رَوْثَةً "kotoran" datang
dalam bentuk nakiroh (bertanwin), dan dalam kadiah ushul fiqh bahwasanya
jika kalimat nakiroh datang dalam konteks kalimat positif maka
memberikan faedah muthlaq. Jadi kalimat رَوْثَةً tidaklah menunjukan
keumuman yang mencakup seluruh kotoran, akan tetapi maksudnya kotoran
tertentu. Maka kita bawakan kepada kotoran dari hewan yang haram
dimakan. Wallahu A'lam
Kesimpulan :
Dari
penjelasan di atas maka Nampak kekuatan dalil yang dikemukakan oleh
madzhab Hanbali dan madzhab Maliki. Jika kita menguatkan pendapat mereka
–bahwasanya kotoran kambing dan ayam adalah suci- maka tentunya boleh
menjual benda yang suci jika bermanfaat. Apalagi jelas manfaat
kotoran-kotoran tersebut untuk pupuk kandang.
Syaikh Sholeh
Al-Fauzaan pernah ditanya :
نحن نملك عددًا من الأغنام، وما ينتج
من فضلات وروث أجلكم الله نجمعه ونكدسه، ولأننا لا نملك مزارع لنستفيد منه؛
فإننا نسأل : هل يجوز بيعها ويحل أكل ثمنه أم لا يجوز ؟
"Kami memiliki sejumlah ekor
kambing, dan kami mengumpulkan kotoran kambing-kambing tersebut lalu
kami menimbunnya. Karena kami tidak memliki perkebunan yang bisa
memanfaatkan kotoran-kotoran tersebut, maka kami bertanya : Apakah boleh
menjual kotoran-kotoran tersebut dan apakah halal memakan hasil
penjualannya?, ataukah tidak boleh?"
Syaikh Sholeh Al-Fauzaan menjawab:
لا بأس ببيع السماد الطاهر؛ مثل سماد
الأغنام والإبل والبقر . . . فروث ما يؤكل لحمه طاهر، وبيعه لا بأس به،
وثمنه مباح لا حرج فيه، إنما الذي فيه الاشتباه والإشكال هو السماد النجس
أو المتنجس، هذا هو الذي فيه الإشكال والخلاف، أما السماد الطاهر؛ فلا بأس
باستعماله، ولا بأس ببيعه وأكل ثمنه
"Tidak mengapa menjual pupuk yang
thoohir (suci dan tidak najis-pent) seperti pupuk dari kotoran kambing,
pupuk dari kotoran onta, dan pupuk dari kotoran sapi. Karena hewan yang
bisa dimakan dagingnya tahi (kotoran)nya itu thohir (suci) dan boleh
menjualnya. Hasil jualannya juga halal dan tidak mengapa. Hanyalah yang
masih ada syubhatnya dan permasalahan adalah pupuk yang najis atau
ternajisi, inilah yang masih ada permasalahan dan khilaf. Adapun pupuk
yang suci (thoohir) maka tidak mengapa dimanfaatkan, dan tidak mengapa
dijual dan hasil penjualannya boleh untuk dimakan"
(Dari
Al-Muntaqoo min Fataawaa Al-Fauzaan, fatwa dari pertanyaan no 302)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
19 Syawal 1431 H / 28 September 2010 M
Disusun oleh Abu Abdil
Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Kitab Rujukan ;
1. Al-Ijmaa',
Muhammad bin Ibrohim bin Mundzir, tahqiq : DR Abu Hammad Sogir, Maktabah
Al-Furqoon, cetakan kedua (1420 H-1999 M)
2. Al-Mughni, Ibnu
Qudamah, tahqiq : Abdullah bin Abdilmuhsin At-Turki dan Abdul Fattaah
Muhammad, Daar 'Aalam Al-Kutub, cetakan ketiga (1417 H-1997 M)
3.
Al-Umm, Imam As-Syafi'i, tahqiq : DR Rif'at Fauzi Abdul Muttholib, Daar
Al-Wafaa', cetakan pertama (1422 H-2001 M)
4. Fathul 'Aziz syarh
Al-Wajiiz (As-Syarh Al-Kabiir), Abdul Kariim bin Muhammad Ar-Rofi'i,
tahqiq : Ali Muhammad Mu'awwadh, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, cetakan
pertama (1417 H-1997 M)
5. As-Sayrhul Mumti', Muhammad bi Sholeh
Al-'Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi, cetakan pertama (1422 H)
6.
Al-Haawi Al-Kabiir fi Fiqhi madzhab Al-Imaam As-Syafi'i, Al-Maawardi,
tahqiq : Ali Muhammad Mu'awwad dan Adi Ahmad Abdul Maujuud, Daar
Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, cetakan pertama (1414 H-1994 M)