Salah
satu syarat wajibnya shalat Jum'at adalah bertempat tinggal atau
berdomisili di negerinya sendiri. Bukan orang yang hidupnya nomaden
(berpindah-pindah sebagaimana kaum Badui) dan sedang dalam bepergian
(bersafar). Hal ini sebagaimana yang dicantumkan para fuqaha' dalam
kitab-kitab mereka dan diamalkan kaum muslimin generasi awal dan
belakangan. (Minhaaj al-Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazaairi: 194)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, "Setiap kaum yang berdomisili tetap dengan mendirikan bangunan
yang berdekatan, tidak berpindah-pindah, baik pada musim hujan atau
kemarau yang di tempat tersebut dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka
wajib mengerjakan shalat Jum'at. Bangunan mereka itu didirikan dengan
bahan yang biasa berlaku, yakni dari tanah kering, kayu, bambu, pelepah,
atau yang lainnya; dan sesungguhnya bagian-bagian bangunan dan
materinya tidak berpengaruh dalam pensyari'atan tersebut. Dasar pokoknya
adalah mereka harus bertempat tinggal tetap, bukan seperti orang
berkemah yang kebanyakan mereka mencari kayu dan berpindah-pindah
tempat. . . . Demikian itu merupakan medzhab jumhur ulama." (Fatawa Ibni
Taimiyah: XXIV/166-167; Dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal. 331)
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, "Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan
shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden).
Kewajiban itu gugur dengan kebiasaan mereka tersebut. Dengan demikian
orang-orang yang menetap di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah maka
mereka termasuk penduduk negeri." (Fatawa Ibni Taimiyah: XXIV/169;
dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut
Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal.
331)
Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden).
Demikian
yang berlaku atas musafir (orang dalam perjalanan). Mereka tidak
berkewajiban menunaikan shalat Jum'at. Hal tersebut, oleh Fuqaha',
didasarkan pada beberapa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyebutkan dengan sangat jelas dan tegas. Di antaranya:
Hadits marfu' dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى مُسَافِرٍ جُمُعَةٌ
"Musafir tidak wajib melaksanakan Jum'at." (HR. Thabrani dengan isnad yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Bulughul Maram, no. 438)
Hadits marfu' dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu,
خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ الْمَرْأَةُ ، وَالْمُسَافِرُ ، وَالْعَبْدُ وَالصَّبِيُّ ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ
"Lima
golongan yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum'at: wanita, musafir,
hamba sahaya, anak kecil, dan orang badui (pedalaman yang hidupnya
nomaden)." (HR. Thabrani dalam al-Mu'jam Al-Aussath dan di dalamnya terdapat Ibrahim bin Hammad yang oleh al-Daaruquthni didhaifkan)
Pada
ringkasnya, hadits-hadits yang menerangkan dengan gamblang perihal tidak
wajibnya shalat Jum'at bagi musafir statusnya lemah. Namun,
hadits-hadits tersebut dikuatkan dengan Sunnah Fi'liyah (amaliyah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Bahwa beliau pernah melakukan banyak perjalanan, di antaranya
melaksanakan umrah tiga kali selain umrah hajinya, menunaikan haji
Wada', dan berangkat perang lebih dari 20 kali. Namun, tidak ada
ketarangan yang shahih bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
shalat Jum'at dan shalat 'Ied saat dalam perjalanan. Bahkan, riwayat
menyebutkan kalau beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat -Dhuhur dan
Ashar- di seluruh perjalanan beliau. Begitu juga saat hari Jum'at,
beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah
sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap
mengerjakan shalat Dhuhur.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Jabir radliyallah 'anhu, "Ketika sampai di perut lembah pada hari 'Arafah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
singgah lalu menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Setelah beliau
selesai berkhutbah, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamah. Selanjutnya
beliau menunaikan shalat Dhuhur. Setelah itu, Bilal mengumandangkan
Iqamah lalu beliau menunaikan shalat 'Ashar." (HR. Muslim no. 1218)
. . . saat hari Jum'at, beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap mengerjakan shalat Dhuhur.
Ini merupakan nash yang sangat jelas, gamblang, dan shahih, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menunaikan shalat Jum'at ketika dalam perjalanan (safar). Beliau hanya melaksanakan shalat Dhuhur.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: "Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam
beberapa kali perjalanan -sudah tentu- pernah ada yang bertetapan
dengan hari Jum'at. Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami
bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at sementara beliau dalam
perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan bahwa beliau
melaksnakan shalat Dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum'at.
Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi seorang
musafir." (Al-Ausath: 4/20)
Terdapat juga keterangan-keterangan dari shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik radliyallahu 'anhu menetap
di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua
raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah:1/442, Ibnul Munzdir dalam
al-Ausath: 4/20 dengan sanad yang shahih)
Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma
berkata, "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir." (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah: 1/442, Ibnul Munzdir: 4/19, dan Al-Baihaqi dalam
Al-Kubra: 3/184 dengan sanad yang shahih)
Kapan Musafir Tidak Wajib Melaksanakan Shalat Jum'at
Musafir
tidak lagi wajib melaksanakan shalat jum'at semenjak dia keluar dari
negerinya sampai ia kembali lagi. Dia tidak wajib melaksanakan Jum'atan
ketika di tengah perjalanannya, ketika sampai di tempat tujuannnya yang
tidak diniatkan untuk bermukim di sana hingga dia kembali ke rumahnya.
Jika dia
sendirian, di tidak wajib untuk mendirikan jum'atan sendirian. Dan jika
tetap mendirikan dan melaksanakan Jum'atan dengan sendirian, menurut
pendapat empat madzhab, shalat Jum'atnya tidak sah dan dia wajib
melaksanakan shalat dhuhur.
Dia juga
tidak wajib ikut berjum'atan dengan penduduk negeri yang dilaluinya.
Namun, jika dia bergabung dengan jama'ah suatu masjid di suatu
negeri/daerah, maka sudah mencukupinya. Artinya dia tidak lagi
berkewajiban melaksanakan shalat Dhuhur.
Sesungguhnya
musafir memiliki keringanan yang tidak dimiliki kelompok lain. Jika dia
sampai di suatu negeri lalu mendengar adzan, baik untuk shalat jama'ah
atau jum'at, sedangkan dia merasa berat untuk mendatanginya, atau ingin
beristirahat karena ngantuk, atau ada kesibukan, maka dia memiliki udzur
(alasan) untuk tidak mendatangi panggilan adzan tersebut yang tidak
dimiliki oleh orang yang muqim, walau dia buta.
Apabila Berniat Tinggal Sampai Beberapa Pekan
DR.
Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam kitabnya Shalah al-Mukmin
(diterjemahkan: Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah)
menjelaskan, "Jika seorang musafir mengumpulkan waktu masa tinggalnya
sehingga melarangnya melakukan qashar shalat, dan juga dia tidak disebut
sebagai penduduk tetap suatu negeri, seperti penuntut ilmu atau
pedagang yang bermukim untuk menjual barang dagangannya atau membeli
sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam waktu yang cukup lama,
maka terdapat dua pendapat menurut Madzhab Hambali:
Pertama,
dia harus menunaikan shalat Jum'at berdasarkan keumuman ayat Al-Qur'an
dan dalil-dalil berita yang mewajibkan shalat Jum'at kecuali kepada lima
golongan: orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, dan hamba sahaya.
Musafir yang bermukim selama waktu yang melarang dirinya mengqashar
shalat tidak termasuk lima golongan di atas.
Kedua,
dia tidak wajib menunaikan shalat Jum'at, karena dia bukan penduduk
yang menetap. Sedangkan tinggal menetap menjadi salah satu syarat wajib
shalat Jum'at. Selain itu, karena dia tidak berniat bermukim di negeri
itu untuk selamanya sehingga dia serupa dengan penduduk badui yang
menempati suatu kampung selama musim kemarau dan berpindah pada waktu
musim hujan. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah: III/218)"
Kemudian
DR. Sa'id al Qahthani merinci tentang shalat Jum'atnya musafir yang
bermukim dalam rentang waktu yang menghalangi dirinya untuk mengqashar
shalat dan juga tidak berniat bermukim dengan dua kesimpulan yang
dikuatkannya:
1.
Jika para musafir bermukim selama waktu yang melarangnya mengqashar
shalat di tempat yang tidak dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka
tidak wajib menunaikan shalat Jum'at. Sebabnya, karena mereka seperti
musafir dan penduduk badui. Sedangkan shalat Jum'at hanya diwajibkan
bagi orang yang tinggal menetap.
2.
Jika mereka bermukim di suatu tempat yang didirikan shalat Jum'at oleh
penduduk setempat, maka disyariatkan baginya untuk mengerjakan shalat
Jum'at bersama mereka. Di dalam kitab Al-Inshaf, Imam al-Mawardi
menrajihkannya seraya berkata, "Madzhab yang benar adalah bahwa shalat
Jum'at itu wajib dia kerjakan bersama orang lain." (Al-Inshaf fi
Ma'rifah al-Raajih min al-Khilaf: V/170) Demikian pula yang difatwakan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz di dalam Majmu' Fatawanya:
XII/376-377)
(PurWD/voa-islam.com)
Oleh : Ustadz Badrul Tamam