News Update :

Waspadai 4 Penyebab Gagal Meraih Ampunan di Bulan Ramadhan

11 Juni 2016 13.41




SALAH satu nama Ramadhan adalah Syahrul Maghfiroh, bulan ampunan. Disebut demikian sebab di dalamnya tersaji beragam amal yang melahirkan ampunan atas dosa-dosa kita. Dengan melakukan amal-amal sesuai yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah berkenan memberikan ampunan atas dosa yang pernah kita lakukan.
Hanya saja, tidak semua orang yang melawati Ramadhan berhasil menjadikan kesempatan emas ini sebagai ajang menggugurkan dosa. Yang terjadi sebaliknya, ia keluar dari ramadhan tanpa mendapat ampunan dari Allah. Orang seperti inilah yang mendapatkan doa Jibril dan diamini oleh rasul.
Ibnu Khuzaimah meriwayatkan suatu hari nabi naik ke atas mimbar untuk berkhutbah. Setiap kali beliau menapaki anak tangga mimbarnya beliau berkata Amiin. Kalimat ini beliau baca sebanyak tiga kali. Selepas khutbah, nabi ditanya ihwal ucapannya itu. Kata nabi, baru saja Jibril datang kepada beliau dan berkata dengan tiga doa, “Allah melaknat orang yang melewati ramadhan namun ia gagal mendapatkan ampunan. Allah melaknat seorang anak yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya yang masih hidup, namun tidak membuatnya masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka). Allah melaknat orang yang namamu disebutkan di hadapannya namun ia tidak bershalawat kepadamu.”
Ketiga doa Jibril di atas, diamini semuanya oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Dalam konteks ibadah ramadhan, menarik untuk kita telisik lebih dalam apa yang menyebabkan seseorang gagal meraih ampunan di bulan Ramadhan padahal ia adalah bulan ampunan? Ada beragam faktor. Yang paling dominan adalah
Pertama, puasa tanpa dasar ikhlas.
Ikhlas adalah perbuatan yang dilakukan untuk mengharap ridha Allah. Ikhlas lawannya riya. Riya artinya perbuatan yang dilakukan karena selain Allah. Ikhlas berarti kemurnian, kejernihan, kebersihan. Beramal ikhlas adalah melaksanakan amal yang bersih, murni, jernih dari segala tendensi selain Allah.
Orang yang beramal ikhlas adalah orang yang membersihkan, menjernihkan, dan memurnikan segala bentuk sesembahan kepada selain Allah. Orang-orang yang ikhlas akan berusaha menjaga kesucian niat dan tujuan di setiap perbuatannya. Orang yang ikhlas mengalamatkan ibadahnya kepada Allah Subhanahu Wata’ala bukan kepada selain-Nya.
Orang yang tidak ikhlas, kata Ustad Taufiq bin Abdulqadir As-Saqqaf, ibarat orang yang menulis secarik surat. Ia tulis surat dengan tutur bahasa yang indah, tinta yang berkualitas lagi harum semerbak. Namun di akhir usahanya untuk mengirim surat ia salah menuliskan alamat. Maka usahanya akan berujung pada kegagalan, surat tidak sampai, padahal ia telah bersusah payah dalam membuat surat. Begitulah amal kita, sebaik apapun puasa yang kita kerjakan hingga membuat badan kurus seperti senar gitar tetap tak akan sampai kepada Allah dan Allah menolak segala amal yang dilakukan bukan karena-Nya.
Jika kita berpuasa untuk diet, untuk mencari kesembuhan, atau puasa karena merasa tidak enak dengan orang sekitar yang banyak berpuasa di waktu itu, artinya kita puasa bukanLillaahi ta`ala tapi “Li” diet (untuk diet), “Li” kesehatan, “Li” ewuh pakewuh dengan orang lain. Tentu saja, hal ini tidak dibenarkan dan bisa melenyapkan harapan kita meraih ampunan Allah di bulan Ramadhan.
Kedua, puasa tanpa dasar ilmu
Ilmu adalah sinar yang menerangi langkah perbuatan kita. Setiap perbuatan dan perkataan harus memiliki landasan ilmu. Dengan ilmu yang kita pelajari kita bisa mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Tanpa ilmu, amal yang kita yakini sudah benar, bisa jadi salah dengan kesalahan yang fatal. Kita menduga bahwa kita telah banyak melakukan kesalehan. Nyatanya, yang kita lakukan adalah kesalahan bukan kesalehan.
Dengan kemajuan sarana dan prasarana seperti saat ini tidak ada alasan yang dapat dimaklumi kala seseoang mengatakan, “Aku tidak tahu kalau ini dan itu boleh dan tidak boleh.” Ilmu Allah sudah tersiar luas, majelis ilmu berkecambah di berbagai pelosok, madrasah, pesantren bahkan buku-buku keagamaan tersebar luas di jagad raya. Tinggal sekarang kemauan kuat kita untuk mau atau tidak mencari ilmu.
Kalau tubuh kita bisa merasa lapar, sakit bahkan mati karena lama tidak makan dan minum, maka yang mati dari diri kita jika kita enggan mencari ilmu adalah hati. Hati kita lambat laun akan gersang, kering kerontang, karena sudah lama tidak diberi ‘makanan’ hati berupa ilmu. Oleh karenanya, seorang muslim yang akan memasuki ramadhan tidak lama lagi ini, harus memperkaya diri dengan ilmu. Ilmu tentang hal-hal seputar ibadah puasa di bulan ramadhan : rukun, syarat sah, syarat wajib, makruh, sunnah, dan pembatal-pembatal puasa. Dengan dasar ilmu kita meraup ampunan Allah sebanyak-banyaknya.
Ketiga, puasa lahir minus puasa batin
Belumlah sempurna puasa seseorang yang sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan badan jika ia biarkan anggota tubuhnya tetap melakukan hal-hal yang bernilai maksiat. Jika benar ia puasa, maka lahir dan batin harus ia puasakan. Ia berpuasa dari makan dan minum sekaligus puasa dari memandang, mendengar, berbicara tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya, seperti menyaksikan televisi yang berisi program-program tidak mendidik, mendengar gosip, atau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak pantas.
Keempat, puasa dengan bermalas-malasan
Dengan dalih tengah berpuasa, ia tidak menyemangati diri untuk meraup berkah yang tertabur di dalam ramadhan. Bulan ramadhan sebagi bulan yang penuh berkah seharusnya membuat kita lebih termotivasi dalam mengais karunia rahmat, ampunan, dan janji-janji Allah yang lain. Sayangnya, ketika seseorang bermalasan-malasan dalam mengerjakan puasa, yang ia dapatkan hanyalah kepayahan dan kelesuan. Ia hanya mendapati dirinya berada dalam keadaan lapar dan haus. Namun tidak mendapati dirinya dalam ruang amal baik seperti tilawah Al-Quran, tarawih, bersedekah atau memberi makan orang yang berbuka puasa.
Akibatnya, ia memandang puasa tak lebih sebagai ajang perpindahan waktu makan, atau ia jadikan waktu buka puasa sebagai ajang balas dendam untuk memakan apa saja yang dikehendaki. Karenanya, tidak heran jika puasa yang ia lakukan tidak memberi pengaruh lebih dalam kehidupannya di masa berikutnya.
Inilah empat faktor yang mengakibatkan seseorang yang melewati Ramadhan tapi gagal meraih ampunan. Orang yang seperti inilah yang mendapat doa Jibril berisi laknat AllahSubhanahu Wata’ala, diamini pula oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Kita patut waspada, jangan sampai kita menjadi golongan yang diberi kesempatan memasuki ramadhan tapi kita gagal meraih ampunan Allah yang sangat luas itu.
Gagal merencanakan niat yang baik, ilmu yang memadai, kesungguhan, dan keuletan sama halnya kita telah merencanakan kegagalan bagi diri kita sendiri. Rugi di dunia rugi pula di akhirat.
Semoga kita terhindar dari golongan yang demikian. Semoga kita termasuk golongan yang melewati ramadhan dengan kualitas dan kuantitas ibadah yang baik. “Allaahumma innaka `afuwwun kariimun tuhibbul `afwa fa`fu `annaa (Ya Allah, sungguh Engkau Maha Memaafkan dan Engkau Maha Dermawan, suka memaafkan, maka maafkan kami).”* / hidayatullah.com
 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.