Sesudah
rezim diktator Marsekal Hosni Mubarak jatuh akibat revolusi, dan lahir
pemerintahan pertama sipil di bawah Presiden Mohamad Mursi, para
pemimpin negara Teluk, seperti Kerajaan Saudi Arabia, Kuwait dan Uni
Emirat Arab, menghadapi kecemasan yang sangat akibat gelombang revolusi.
Negara-negara
Teluk mencoba mencegah gelombang revolusi yang terus merembet ke
sejumlah negara Teluk, dan para pemimpin negara-negara Teluk terus
berusaha mengeliminir dan meminimalkan dampak revolusi itu ke
negara-negara mereka, dan menghentikan dengan segala upaya revolusi
tidak menjangkiti rakyat mereka.
Maka, kekuatan-kekuatan terselubung itu mulai melakukan kampanye melawan Presiden Muhammad Mursi. Kampanye penggulingan terhadap Mursi itu semakin mendapatkan peluang dengan adanya kerjasama antara sejumlah negara Teluk dengan Menteri Pertahanan Mesir Jenderal Abdul Fattah Al-Sissi.
Maka, kekuatan-kekuatan terselubung itu mulai melakukan kampanye melawan Presiden Muhammad Mursi. Kampanye penggulingan terhadap Mursi itu semakin mendapatkan peluang dengan adanya kerjasama antara sejumlah negara Teluk dengan Menteri Pertahanan Mesir Jenderal Abdul Fattah Al-Sissi.
Persekongkolan
itu semakin menguat dengan adanya gabungan kuatan dalam negeri,
terutama kekuatan koptik, sekuler, liberal, dan naisonalis, dan mereka
menggunakan isu masalah ekonomi, dan semakin mendorong terjadinya
krisis. Sesudah itu, lahirlah aliansi Front Penyelamat Nasinal (FSN),
yang dipimpin tokoh yang menjadi kaki tangan Amerika Serikat, Mohamad
el-Baradei.
Melalu
media jejaring sosial, kekuakatan oposisi yang melawan Mursi itu,
berkembang dengan mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Israel, dan
sejumlah negara Teluk, mereka memobilisasi massa menjatuhkan Presiden
Mohamad Mursi.
Puncaknya,
ketika mereka memobilisasi massa, dan kemudian militer memberikan
ultimatum, dan kemudian Presiden Mursi menolak ultimatum, semua diakhiri
dengan kudeta oleh militer, pada tanggal 3 Juli.
Kemudian militer menunjuk Al-Adl Mansur, Ketua Mahkamah Agung menjadi
Presiden ad-interim, dan kemudian menunjuk Mohamad el-Baradei menjadi
Wakil Presdien. Semua itu hanyalah skenario yang sudah disiapkan oleh
berbagai kekuatan politik yang ingin menjatuhkan Presiden Mursi.
Menanggapi kudeta militer terhadap pemerintahan Mursi itu, Amerika Serikat dan Eropa tidak menyebut sebagai kudeta. Negara-negara seperti
Rusia, Arab Saudi, Israel, Iran, Yordania, Suriah, AS, Uni Eropa dan
Uni Emirat Arab (UEA), semua diam, dan tidak mensikapi kudeta yang
terjadi di Mesir. Karena, memang sejatinya mereka terlibat dalam usaha
menjatuhkan Presiden Mohamad Mursi yang mereka takutkan menjadi ancaman
bagi masa depan mereka.
Faktanya
Raja Arab Saudi Arabia, Abdullah, pemimpin dunia arab, yang pertama
sekali memberikan ucapan selamat kepada pemimpin militer Mesir Jenderal
Abdul Fattah al-Sissi. Kerajaan Arab Saudi dan Raja Abdullah masuk
dalam sejarah sebagai negara atau kerajaan pertama-tama yang memberikan
ucapan selamat kepada pejabat Presiden ad-interim Adly Mansour.
Sikap
Arab Saudi ini telah menimbulkan keprihatinan yang menndalam. Padahal,
pertamakali negara yang dikunjungi oleh Presiden Mursi sesudah dilantik
adalah Arab Saudi.
Langkah Raja Abdulah dari Arab Saudi ini, kemudian diikuti oleh negara-negara Teluk lainnya, termasuk UEA (United Emirat Arab). Mereka memberikan dukungan
kepada kudeta yang dilakukan oleh rezim militer dibawah Jenderal Abdul
Fattah al-Sissi. Tindakan para pemimpin negara-negara Arab Teluk,
sekaligus membenarkan tindakan kudeta dan kekerasan, dan menolak
hasil-hasil pilihan rakyat Mesir, yang sudah memberikan kepercayaan
mereka kepada Presiden Mohamad Mursi.
Mereka
hanya menghadapi ketakutan yang sangat luar biasa atas terjadi revolusi
yang sekarang telah berlangsung di dunia Arab. Para pemimpin Arab itu,
terus berusaha menghentikan semua gerakan revolusi yang dimotori oleh
Ikhwan, dan ingin menghancurkannya lewat tangan militer, seperti juga
yang sekarang yang terjadi di Tunisia, yang juga dilanda krisis.
Al-Arabiya
melaporkan bahwa Jendral Abdul Fattah Al Sissi secara detil dari detik
ke detik melaporkan melalui telepon tentang situasi dan perkembangan
Mesir kepada Raja Arab Saudi Abdullah. Al-Sissi juga melaporkan
perkembangan Mesir kepada Sheikh Khalifah bin Zayed al-Nuhayyan dari UEA.
Sementara itu, ada kabar tentang pemimpin FSN, Mohamed El-Baradei,
melarikan diri ke Arab Saudi, klaim bahwa El-Baradei melarikan diri
adalah yang paling penting. Ini akibat situasi yang terjadi di Mesir
sekarang sudah tidak terkendali lagi. El-Beradei mencari suaka dan
keamanan, karena merasa terancam jiwanya.
Perlu
dicatat bahwa faksi militer yang mendukung kudeta itu, tak lain, mereka
ini para perwira yang mendukung Perjanjian Camp David. Di mana mereka
memiliki hubungan yang sangat dekat Zionis-Israel.
Zionis-Israel
tidak menginginkan tampilnya pemerintahan Islam dibawah Mursi, yang
akan menjadi ancaman keamanan bagi Zionis-Israel. Karenaa itu, melalui
berbagai persekongkolan kekuatan yang ada, termasuk negara-negara Arab
yang merasa terancam revolusi melakukan konsilidasi, dan kemudian
mereka menjatuhkan Mursi.
Tak kalah penting, fakta
menunjukkan Iran dan Hizbullah-sekutu-Assad mendukung kudeta, karena
Iran dan Hisbullah serta Suriah tidak ingin lahir pemerintahan Islam
Suni di Mesir, yang juga menjadi ancaman bagi mereka. Karena itu,
sejatinya Iran, Hisbullah, dan Suriah, terlibat dalam penggulingan
Muris.
Rezim
di Arab Saudi dan UEA prihatin tentang masa depan kerajaan mereka,
akibat gelombang revolusi. Maka,di tengah revolusi yang terjadi di
seluruh dunia Arab, sekarang mereka mencoba membuat format baru bagi
dunia Arab. Arab Saudi dan UEA tetap ingin memainkan peranan mereka di
kawasan Teluk secara dominan, tanpa ada perubahan politik.
Dalam
konteks ini, fakta juga menujukkan kekuatan Salafi Mesir -terutama
yang berafiliasi dengan Partai Nour telah berkolaborasi dengan Jendral
Al-Sissi ikut menjatuhkan Presiden Mursi. Karena, Salafi Mesir tidak
dapat dilepaskan dengan Kerajaan Arab Saudi.
Singkatnya,
seperti peran Arab Saudi dan UEA, berusaha mempertahanakn Mesir, tetap
aman, tidak keluar jalur yang seperti diinginkan oleh Arab Saudi,
Negara Teluk, dan Zionis-Israel, bukan pemerintahan Islam, yang akan
membahayakan keamanan mereka.
Sikap
Arab Saudi dan UEA itu, bisa dilihat dengan langkah-langkah yang
dilakukan rezim UEA, di mana negara itu telah menangkap lebih dari 80
orang yang dituduh sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, di mana mereka
dituduh mencoba melakukan kudeta.
Kedua,
lawan politik Presiden Mohamad Mursi yaitu Marsekal Ahmed Shafik,
mantan perdana menteri pada era Mubarak sekarang menjabat sebagai
konsultan untuk Presiden UEA. Tidak dapat mengesampingkan
sikap UEA yang sangat anti-Ikhwanul. Sangat jelas UEA memiliki
kepentingan guna melanggengkan kekuatan status quo yang lama di Mesir.
Fakta
lainnya, bahwa tokoh-tokoh sisa-sisa rezim Mubarak memegang peranan
penting dalam gerakan oposisi yang menggulingkan Mursi. Hal ini menjelaskan mengapa jutaan dolar mengalir dari UEA, negara yang kaya minyak ke oposisi Mesir.
Ahmad
Safiq, selain menjabat sebagai Perdana Menteri Mesir selama 2 bulan
pada tahun 2011, dia juga menjabat sebagai mantan komandan angkatan
udara di era Mubarak, dan sebagai menteri dalam pemerintahan Mesir.
Fakta-fakta
ini menunjukkan bahwa UAE, memiliki hubungan sangat dekat dengan orde
lama di Mesir dan tetap dalam bayangan Arab Saudi, yang menjadi agen
kerjasama internasional yang berfokus pada Mesir. Sementara
itu, tidak dapat dilupakan bahwa Presiden ad-interim Adly Mansour,
pernah menjabat selama 8 tahun sebagai konsultan di Saudi.
Jadi, penggulingan terhadap Presiden Mursi, menunjukkan sikap paranoid (ketakutan yang berlebihan) para raja-raja dan rezim Arab serta Teluk terhadap Gerakan Jamaah Ikhwanul Muslimin, yang sekarang ini sudah seperti air bah, dan sulit dibendung lagi.
Jadi, penggulingan terhadap Presiden Mursi, menunjukkan sikap paranoid (ketakutan yang berlebihan) para raja-raja dan rezim Arab serta Teluk terhadap Gerakan Jamaah Ikhwanul Muslimin, yang sekarang ini sudah seperti air bah, dan sulit dibendung lagi.
Kerajaan Arab Saudi, UEA, Kuwait, Qatar,
Bahrain terus memagari negara mereka dari pengaruh Jamaah Ikhwan yang
terus berusaha berjuang mendakwahkan agama Allah al-Islam, dan
meninggikan kalimat-Nya,sembari mengikis karat-karat yang dibangun para
kaki tangan kafir musyik, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Anehnya,
justeru Turki yang dianggap sekuler, dan sekarang dibawah pemerintahan
Partai AKP (Keadilan dan Pembangunan) yang dipimpin Recep Tayyeb
Erdogan tak mengakui rezim baru yang merupakan hasil kudeta militer,
dan mengutuk tindakan bar-bar militer. Hal itu, juga ditujukkan sikap
rakyat Turki, di mana rakyat seluruh negeri itu, mendukung Presiden
Mursi. af/wb/voa-islam.com