Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu
'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Meminta maaf adalah salah satu dari isi doa di malam Lailatul Qadar.
Diawali dengan memanggil Allah dan menyebut nama-Nya al-‘Afuww
(mahapemaaf) yang menunjukkan Allah memiliki sifat pemaaf. Lantas apa
berbedaan maaf-nya Allah dengan maghfirah (ampunan)-Nya? Di mana Allah
juga namakan Diri-Nya dengan Al-Ghaffar yang menunjukkan sifat pemberi
ampunan.
Pada dasarnya, semua nama Allah adalah
sangat baik. Tapi al-'Afuww (maaf) itu memiliki makna lebih dalam
daripada maghfirah. Karena maghfirah adalah ampunan dosa namun dosa itu
masih ada. Dosa tersebut ditutupi oleh Allah di dunia, sementara di
akhirat nanti ditutupi dari pandangan makhluk. Sehingga Allah tidak
menyiksa seseorang dengan dosa tersebut, tapi dosa itu masih ada.
Adapun maaf, maka dosa yang dilakukan
hamba sudah tidak ada. Kayak-kayaknya ia tidak pernah melakukan
kesalahan. Karena dosa itu telah dihilangkan dan dihapuskan sehingga
bekasnya tidak lagi terlihat. Dari sisi ini, pemberian maaf lebih
istimewa.
Maka jika dikaitkan dengan isi doa Malam
Lailatul Qadar, seseorang yang melakkan dosa-dosa kecil dan ia tidak
banyak ibadah di Lailatul Qadar atau tidak mendapatkannya, maka ia
datang di hari kiamat akan mendapati Allah sebagai Mahapengampun. Namun
nanti dosa-dosa itu akan ditampakkan dan disuruh ia mengakuinya. Berbeda
dengan yang -boleh jadi- melakukan dosa besar, lalu ia bertaubat, giat
ibadah di Lailatul Qadar sehingga mendapatkannya, maka di hari kiamat ia
memperoleh maaf. Allah Mahapemaaf tidak lagi menyebutkan
kesalahan-kesalahannya, karena sudah dihapuskan. Adapun al-Ghafur
(Mahapengampun), terkadang dosanya masih disebut dan dinampakkan, namun
Dia tidak menyiksa/menghukum karenanya.
Perbedaan keduanya, terlihat jelas dalam
dua hadits berikut ini: hadits tentang datangnya seorang hamba pada
hari kiamat, lalu Allah Tabarakan wa Ta'ala berfirman
kepadanya: “Wahai hamba-Ku, mendekatlah!” Maka hamba tadi mendekat. Lalu
Allah menurunkan tabir penutup atasnya, dan bertanya padanya: “Apakah
kamu ingat dosa ini? Apakah kamu ingat dosa itu?” -Dan ini menunjukkan
bahwa bekas dosa itu masih ada dalam catatan amal-. Lalu hamba tadi
menjawab, “Ya, masih ingat wahai Rabb.” Hamba tadi mengira akan binasa.
Lalu Allah berfirman padanya: “Aku telah tutupi dosa itu atasmu di
dunia, dan hari ini Aku beri ampunan atas dosa itu untukmu.” Ini adalah
maghfirah.
Sedangkan al-'afuww (pemaafan atas
dosa), maka Allah akan berfirman pada hari kiamat kepada seseorang yang
telah dimaafkan-Nya, “Wahai fulan, Sesungguhnya Aku telah ridha kepadamu
karena perbuatanmu di dunia, Aku telah ridha kepadamu dan memaafkanmu,
maka pergilah dan masuklah ke dalam surga.”
Al-‘Afuww adalah apa yang didapatkan
hamba pada hari kiamat, saat Allah berfirman kepadanya: “Wahai hambaku,
berangan-anganlah dan berkeinginanlah, maka sungguh Aku telah
mengampunimu. Maka tidaklah engkau berangan-angan terhadap sesuatu
kecuali aku berikan kepadamu itu.”
Maka jelaskan keistimewaan maaf dari
Allah sehingga Allah tidak akan menimpakan keburukan atas kesalahan dan
dosa hambanya. Bahkan bisa dikatakan, kebutuhan mereka kepada maaf Allah
lebih daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Kenapa? Karena
kalau tidak memberikan maaf kepada penduduk bumi, niscaya hancur dan
binasalah mereka semua dengan dosa-dosa mereka.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Al-Syuura: 30)
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat
ini, maksudnya: Apa saja yang menimpamu wahai manusia dari berbagai
musibah sesungguh itu disebabkan kesalahan-kesalahan yang telah engkau
lakukan. (dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu), maksudnya: dari kesalahan-kesalahan sehingga
Allah tidak membalas (menghukum) kalian atas kesalahan-kesalahan
tersebut, tetapi Dia memaafkanya.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa
manusia karena sebab perbutan mereka, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun.” (QS. Faathir: 45)
Sifat maaf Allah adalah maaf yang
lengkap, lebih luas dari dosa-dosa yang dilakukan hamba-Nya. Apalagi
kalau mereka datang dengan istighfar, taubat, iman, dan amal-amal shalih
yang menjadi sarana untuk mendapatkan maaf Allah. Sesungguhnya tidak
ada yang bisa menerima taubat para hamba dan memaafkan kesalahan mereka
dengan sempurna kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tiga tingkatan makna yang terkandung
dalam maaf-Nya Allah yang kita minta: pertama, menghilangkan dan
menghapuskan. Kedua, lalu ridha. Ketiga, diikuti memberi. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
menghilangkan, menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya dan bekas dosa
tersebut. Lalu Allah meridhai mereka. Kemudian sesudah meridhai, Dia
memberi yang terbaik (maaf) tanpa mereka memintanya.
Mewujudkan maaf ini seorang hamba
diperintahkan untuk memiliki sifat pemaaf. Tidak membalas keburukan
orang lain terhadap dirinya dengan keburukan serupa, apalagi dengan
keburukan yang lebih besar. Tapi ia sabar-sabarkan diri dari marah atas
sikap buruk orang lain terhadap dirinya, lalu ia maafkan
kesalahan-kesalahan mereka, dan ia balas keburukan mereka dengan
kebaikan. Karena balasan sesuai dengan jenis amal. Siapa yang banyak
memaafkan maka Allah akan banyak memberi maaf kepadanya. Wallahu A’lam.
[PurWD.voa-islam.com]