Langkah
pertama umat manusia ketika tertimpa bencana seperti banjir yang baru
saja terjadi, seharusnya adalah segera bertaubat. Hal ini seringkali
dilupakan orang, padahal sikap ini amat penting sebagaimana pentingnya
memberikan bantuan kepada korban bencana.
Hal itu
dikemukakan tokoh umat Islam Solo, Dr. Mu’inudinillah Basri, MA,
menurutnya masyarakat harus segera melakukan perbaikan dengan bertaubat.
“Jadi
kalau saya melihat bahwa harus ada perbaikan, perbaikan berupa tobat
kepada Allah, menghindarkan segala kemaksiatan, karena Allah yang
mengatur curah hujan. Kalau orang mengatakan itu hanya banjir kiriman
dan segala macamnya, bukankah Allah bisa mengatur curah hujan itu?” kata
ustadz Mu’inuddinillah Basri, kepada voa-islam.com, Ahad (20/1/2013).
...saya melihat bahwa harus ada perbaikan, perbaikan berupa tobat kepada Allah, menghindarkan segala kemaksiatan, karena Allah yang mengatur curah hujan
Setelah
bertaubat, menurut ustadz Mu’in, pihak terkait harus lakukan perbaikan
dengan menutup segala hal yang bisa menyebabkan datangnya misbah banjir.
“Allah telah memerintahkan kita untuk melawan qodho’ dan qodar Allah dengan qodho’ dan qodar Alalh Ta’ala pula, artinya penyebab banjir itu apa, secara materi apa, secara non materi apa, lha itu semuanya harus kita perbaiki. Karena Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
…
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (Q.S. Ar-Ra’d: 11)
Datangnya
banjir di luar kekuasaan kita, tapi apa yang bisa kita rubah, kita
pelajari penyebab-penyebabnya untuk kita perbaiki,” jelas Direktur
Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an (PPTQ) Ibnu ‘Abbas Klaten Jawa Tengah
itu.
...Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pengajaran?
Ia pun kembali menegaskan, selain bertaubat hendaknya manusia bisa mengambil pelajaran atas bencana yang menimpa.
“Ada
beberapa hal terkait hal itu, yang pertama tobat kepada Allah. Kemudian
mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Allah berfirman:
أَوَلا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لا يَتُوبُونَ وَلا هُمْ يَذَّكَّرُونَ
Dan
tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji
sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertobat
dan tidak (pula) mengambil pengajaran? (Q.S. At-Taubah: 126)
Nah
artinya, adanya gempa bumi, kemudian ada banjir sekali atau dua kali,
mestinya sudah kita mabil pelajaran, tapi kita nggak mengambil
pelajaran.
Yang
kedua, mestinya ada bencana itu ukuran bagi kita sejauh mana kaum
muslimin di sana saling membantu satu sama yang lainnya untuk
meringankan beban penderitaan atas musibah yang terjadi,” paparnya.
...Maka dari itu penguasa sendiri merupakan orang yang memiliki tanggung jawab yang sangat berat dan besar untuk melakukan itu, artinya melakukan perbaikan pada diri mereka sendiri dan kepada rakyat
Terakhir,
ustadz Mu’in mengingatkan penguasa negeri ini agar segera melakukan
perbaikan dan menghilangkan maksiat sebagai faktor yang bisa menundang
bencana
“Allah berfirman:
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan
peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya. (Q.S. Al-Anfal: 25)
Hal itu
juga berlaku untuk penguasa. Maka dari itu penguasa sendiri merupakan
orang yang memiliki tanggung jawab yang sangat berat dan besar untuk
melakukan itu, artinya melakukan perbaikan pada diri mereka sendiri dan
kepada rakyat yang dikelolanya.
Jadi,
mereview bagaimana mengingatkan atas kemaksiatan yang dilakukan
rakyatnya, bagaimana kemudian tidak membuka peluang untuk adanya
kemaksiatan terhadap rakyatnya dan diri mereka sendiri karena adanya
undang-undang yang tidak memihak kepada kebenaran. Jadi semua itu harus
dilakukan agar kemaksiatan bisa hilang dan minimal berkurang,” tutupnya.
[Widad, Bekti]/voa-islam.com