Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu
'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Lisan memiliki peran sangat penting
dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Ada beberapa amalan utama di dalamnya
yang menjadi domain lisan seperti membaca Al-Qur'an, zikir, doa, dan
lainnya. Amalan-amalan tersebut akan menyempurnakan pahala ibadah
shiyam.
Sebaliknya, lisan yang tidak
dikendalikan akan bisa merusak puasa hilang nilai dan pahalanya. Artinya
nilai pahala bisa berkurang, bahkan bisa tidak didapatkan sama sekali
akibat kesalahan-kesalahan lisan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan
perkataan dusta dan mengerjakannya serta berlaku bodoh, maka Allah tidak
butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan
Abu Dawud. Lafadznya menurut riwayat Abu Dawud)
Qaul Al-Zuur adalah perkataan yang
menyimpang dari kebenaran dan condong kepada kebatilan. Masuk di
dalamnya setiap perkataan haram. Misalnya: bohong, ghibah (menggunjing),
adu domba, kesaksian palsu, mencaci, mencela, dan semisalnya.
Sebenarnya, Perkataan Zuur diharamkan di
mana saja dan kapan saja. Tetapi semakin tegas larangannya dan semakin
besar dosanya apabila dikerjakan pada waktu-waktu utama seperti
Ramadhan, dan di tempat yang mulia seperti di dua tanah haram, dan pada
kondisi yang utama seperti shiyam.
Al-Jahlu juga sebutkan sebagian ulama
berkaitan dengan amal lisan. Yakni, perkataan yang menjerumus kepada
hal-hal porno dan jorok.
Jadi, perbuatan lisan punya pengaruh
yang sangat besar terhadap kegiatan puasa kita. Bahkan sebagian ulama
menyebutkan, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh orang
yang melaksanakan puasa maka puasanya akan berkurang makna dan
pahalanya. Puasanya menjadi tidak sempurna. Walaupun tetap sah puasa
yang ia kerjakan dan tak perlu mengulanginya lagi.
Ada sebagian ulama yang memahami makna
“maka Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya,”
adalah keterangan bahwa ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ibnul Munir dalam Hasyiyah-nya
menyebutkan bahwa ini adalah kinayah (kiasan) puasanya tidak diterima.
Pendapat lainnya mengatakan, “Puasa yang tercampur dengan al-Zuur
tertolak. Sebagian yang lain mengatakan, puasa semacam ini tidak
mendapat keridhaan Allah yang menyebabkan diterima puasa.
Ibnul ‘Arabi berkata: tuntutan hadits
ini bawha orang yang mengerjakan apa-apa yang telah disebutkan maka
tidak diberi pahala atas puasanya.” Maknanya: Pahala orang yang berpuasa
tidak sebanding dengan dosa zuur (dusta dan semisalnya) dan yang
disebutkan bersamanya.
Bukanlah maksud disyariatkan puasa itu
hanya merasakan lapar dan haus, tapi juga menahan syahwat , dan
menundukkan nafs amarah kepada nafs muthmainah. Puasa juga sebagai
moment untuk membina diri, memuliakan akhlak, dan membaguskan tabiat.
Jika tidak bisa demikian maka Allah tidak akan menerima ibadah shiyam
tersebut.
Oleh sebab itu, orang yang sedang
berpuasa wajib menjaga lisannya. Jangan sampai keluar dari lisannya
kecuali yang baik-baik dan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala
seperti membaca kalam-Nya (Al-Qur'an), zikir, doa, menasihati kepada
kebenaran, mencegah dari kemungkaran, bertutur kata yang lembut kepada
orang lain, tidak emosi dengan kalimat-kalimat kemarahan dan selainnya.
Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD.voa-islam.com]
Oleh : Ustadz Badrul Tamam