News Update :

Bagaimana Hukum Mengawini Wanita Hamil ?

26 Agustus 2013 08.22




Pertanyaan: Assalaamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh

Ba'da tahmid was shalawat. Saya hendak menanyakan tentang masalah yang umum terjadi di masyarakat kita berikut. 1. Menikahi wanita yang hamil (baik olehnya ataupun orang lain), bagaimana hukum nikahnya? Tolong diberikan dalil shahihnya. 2. Status anak yang lahir dari kehamilan itu bagaimana? Juga tolong dengan dalil shahihnya. Atas jawaban dan petunjuknya, saya sampaikan terima kasih. JazaakumuLlaah khairan katsiira.
Wassalaamu'alaikum warohmmatullah wabarokatuh

Hamba Allah.

Jawaban: Alaikum salam warohmatullah wabarokatuh
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalam `Ala Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d :
Menikahi wanita hamil yang diakibatkan zina yang dia lakukan sendiri dengan wanita itu berbeda hukumnya dengan menikahi wanita yang hamil oleh laki-laki lainnya.

Sebab terkait dengan masalah nomor dua yang Anda tanyakan, bila menikahi wanita hamil hasil bibitnya sendiri, maka secara biologis memang anak di perut wanita itu memang anaknya sendiri. Tinggal masalah formal hukumnya saja.

Sedangkan menikahi wanita yang hamil oleh laki-laki lain, maka jelas-jelas janin itu bukan bibitnya, maka hukumnya menjadi berbeda.

Menikahi Wanita Yang Pernah Dizinai Sendiri

Para ulama sepakat membolehkan menikahi wanita yang dizinai sendiri sebelumnya. Kalau pun ada yang mengatakan tidak boleh, maka itu hanya pendapat perseorangan yang tidak harus menjadi halangan. Titik perbedaannya ada pada salah satu ayat Al-Quran Al-Kariem yaitu :

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min." (QS. An-Nur : 3)

Bila dibaca sekilas dan tanpa mendalami makna serta bahasan para ulama. Bisa jadi seseorang akan mengatakan bahwa menikahi wanita yang pernah berzina itu adalah haram kecuali bagi laki-laki yang juga pernah berzina. Tapi ternyata setelah kita dalami tasfir dan kitab-kitab fiqih, paling tidak dalam memahami ayat ini, ada tiga pendapat yang berbeda.

a. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Mayoritas ulama fiqh mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafadz ayat yang dzahirnya mengharamkan itu ?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

1. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima’ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
2. Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
3. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui."(QS An-Nur : 32)

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq -rodhiyallahu 'anhu- dan Umar bin Al-Khattab -rodhiyallahu 'anhu- dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :

"Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,”Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”." (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,”Istriku ini seorang yang suka berzina”. Beliau menjawab,”Ceraikan dia”. “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut’ahilah dia”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah -rodhiyallahu 'anhu-, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra’ dan Ibnu Mas’ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah dzahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,”Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts(orang yang tidak memiliki rasa cemburu)”. (HR. Abu Daud)
Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat ini didukung kuat dengan firman Allah Ta’ala,
 
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nur: 3) 

Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat:
 
Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.
Kedua: Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).

Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.

Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai jika wanita tersebut betul-betul telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina), maka ketika dua syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun  dengan maksud untuk menutupi aibnya di masyarakat. Wallahu a’lam. –Demikian Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah-.
 
Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar’i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Sedangkan terkait dengan masalah nasab anak, maka anak itu bisa menjadi syah bernasab kepada laki-laki yang mengawini dan sebelumnya menzinainya asalkan dinikahi sebelum berusia 6 bulan di dalam kandungan.
 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.