Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surakarta, KH. Sholekhan
Mahdum Cahyana, Lc melihat ada nuansa politik di balik kemegahan
perayaan imlek di Tanah Air. Itulah sebabnya, orang-orang China kaya
yang ada di Indonesia, yang kebanyakan berprofesi sebagai pengusaha,
ingin agar aset bisnisnya aman. Mereka pun ingin membuat sebuah
pencitraan, seakan-akan komunitas mereka itu besar dan banyak.
Setidaknya, mereka ingin masyarakat asli Indonesia tidak lagi membenci
dan memusuhi masyarakat Tionghoa.
“Orang Cina di Indonesia yang punya aset bisnis banyak, tentu ingin
mengamankan aset mereka disini. Nah, dengan adanya perayaan Imlek yang
dibuat sedemikian besar dan megah itu, maka masyarakat yang dulunya --
sebelum Indonesia Merdeka – benci pada masyarakat Cina, diharapkan
menjadi sedikit berkurang kebencian dan permusuhannya kepada orang-orang
China,” tuturnya.
KH. Sholekhan menyatakan, perayaan Imlek yang setiap tahunnya
dirayakan sedemikian megahnya di Indonesia, tentu mempunyai maksud
tertentu, yakni adanya misi politik didalamnya.“Yang namanya Konghuchu
di China itu bukan agama, hanya budaya dan sebuah aliran kepercayaan
saja. Begitu juga di Indonesia. Gus Dur lah yang menjadikan perayaan
imlek ini sebagai dalih untuk membela kaum minoritas, ini politik,”
ucapnya.
Menurut KH. Sholekhan MC, gerakan politik yang dilakukan oleh
orang-orang China, terutama yang menetap dan tinggal di Indonesia,
memanfaatkan orang-orang pribumi sebagai upaya untuk mendapatkan
pengakuan dan hak yang sama sebagai masyarakat.
“Sampai hari ini, disemua lembaga negara di pemerintahan belum ada
yang mengakui Konghuchu sebagai sebuah agama. Gus Dur dan konco-konconya
itulah yang memperjuangkan hak masyarakat Konghuchu. Tujuannya agar
istilah mayoritas-minoritas hilang, sehingga kedudukan masyarakat China
sama dengan penduduk asli, dan secara social dan hukum punya hak yang
sama,” terangnya.
Sekilas Imlek
Dalam litelatur sejarah China, Imlek adalah upacara adat istiadat
yang dilakukan oleh aliran kebathinan atau sebuah aliran keyakinan di
China yang bernama Konghuchu. Masyarakat China yang beraliran Konghuchu
mempunyai keyakinan, jika mereka sedang memasuki musim panen atau
mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, maka masyarakat setempat
harus mengadakan acara semacam selamatan atau syukuran.
Bentuk syukur yang mereka lakukan sebetulnya juga hampir sama dengan
apa yang dilakukan oleh sebagian orang islam yang ada di Indonesia,
seperti ada istilah “sedekah laut dan sedekah bumi”. Sedekah Laut
dilakukan jika para nelayan sedang memasuki musim tangkap ikan dan
mendapatkan hasil yang banyak. Adapun Sedekah Bumi dilakukan oleh
sebagian masyarakat di Indoensia jika sedang memasuki musim tandur dan
mendapatkan hasil panenan yang melimpah ruah.
Namun perbedaannya, kalau masyarakat Konghuchu merayakan Imlek dengan
cara menghias rumah mereka, saling memberikan uang kepada anak kecil
atau sesama yang kemudian di istilahkan dengan memberi Angpao, dan
sebagainya. Sedangkan, sedekah laut membuang sejumlah sesajen kelaut
yang dipersembahkan untuk “sang penunggu laut”.
Saat Indonesia masih menjadi jajahan Hindia Belanda, tradisi perayaan
Imlek ini kemudian dibawa ke Indonesia oleh orang-orang dari China yang
rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Namun yang perlu dicermati, dari
perayaan Imlek di Indonesia adalah kenapa setiap kali diadakan imlek
selalu dirayakan dengan event yang besar besar dan megah, bahkan sampai
diekspos sedemikian rupa oleh sejumlah media televisi swasta? Padahal
penduduk Tionghoa atau masyarakat Konghuchu di Indonesia hanya sekian
persen saja dari mayoritas penduduk di Indonesia.
Dengan realita sejarah seperti itu, KH. Sholekhan menghimbau kepada
masyarakat luas, khususnya kepada umat Islam, agar tidak ikut arus
dengan mengikuti perayaan tahun baru Imlek yang memang bukan berasal
dari budaya dan ajaran islam. Terlebih kalau dalam perayaan tersebut ada
unsur kemaksiatan dan kemungkarannya seperti bercampur baurnya
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.
“Hendaknya umat Islam tidak asal ikut-ikutan budaya, adat istiadat
dan keyakinan umat atau ajaran diluar agama islam. Apalagi jika budaya
atau perayaan tersebut ada unsur kemaksiatannya. Yang pertama karena
Islam tidak mengajarkannya. Kedua, karena mengandung kemungkaran,”
pesannya kepada kaum muslimin. [Bekti] / voa-islam.com