News Update :

SHAUM ARAFAH DAN IDUL ADHA HARUS SAMAKAH DENGAN MEKKAH ?

21 Oktober 2012 17.20



Sebelum penulis membahas masalah ini, penulis ingin membahas terlebih dahulu masyru’iyah (disyari’atkannya) shaum Arafah, mengingat pelaksanaan Idul Adha itu sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan shaum Arafah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
 
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun laludan tahun yang akan datang”.( HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah)
 
       An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata : Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil”[Syarh Shahih Muslim, 8/50-51].
       Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah : ‘dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dantahun yang akan datang’ ;
        Berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’ala mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun.
       As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’ Syarhul- Muhadzdzab, 6/381].
       Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata : “Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diberi taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461]. Mengenai jenis dosa yang dihapuskan Allah ta’ala dari amalan puasa ‘Arafah, An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Aku katakan : hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil.  Kedua, - dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengertiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar.
       Telah berkata Al-Qaadhy ‘Iyaadh rahimahullahu ta’ala : ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382].
       Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan sebagaimana atsar:

عن أبي نجيح قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة فقال : حججت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يصمه ومع أبي بكر فلم يصمه ومع عمر فلم يصمه ومع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا آمر به ولا أنهى عنه
 
Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidakberpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751,Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no.1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no.1792; shahih].
 

عن أم الفضل بنت الحارث : أَنَّ نَاساً تَمَارَوا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ بَعضُهُمْ : هوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ

Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].
                                                                                       

عن سَعِيدِ بْنِ جُبَيرٍ، قَالَ : أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ يَأْكلُ رُمَّاناً، فَقَالَ : أَفْطَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَةَ، فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ أَمُّ الْفَضلِ بِلَبَنٍ، فَشَرِبَهُ

Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad shahih].
 
Inilah pendapat shahih dari jumhur ulama.
       At-Tirmidziy rahimahullah berkata : “Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116].
       An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata Asy- Syafi’iy dan murid-muridnya dalam Al-Mukhtashar : ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa” [Al-Majmu’, 6/380].
       Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah ?”. Maka beliau rahimahullah menjawab : “(Puasa di) hari kesembilan adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam menjawab : ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang melaksaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa.
       Barangsiapa yang melaksanakan haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika merasa ringan/mudah melaksanakannya”
[sumber :\ http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016].
       Namun ada keterangan dari beberapa pendahulu ummat ini yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah melakukan wuquf.

عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، قال : "مَا شَهِدَ أَبِي عَرَفَةَ قَطُّ إِلَّا وَهُوَ صَائِمٌ

Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair) di ‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1057; shahih].
 
عن القاسم بن محمد ، قال : " رأيت عائشة عشية عرفة يدفع الإمام ، فتقف بعد حتى يقصى ما بينها وبين الناس من الأرض ، ثم تدعو بالشراب فتفطر

Dari Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka puasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1059; shahih].
 
       Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah : “Kebanyakan ulama menyenangi berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qataadah berkata : ‘Tidak mengapa dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athaa’ berkata : ‘Aku berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’. Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” [Al-Mughniy, 3/58].
 
Shaum Arafah dan Idul Adha menurut ru’yah hilal masing-masing negara ataukah mengikuti Mekkah?
       Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut ru’yah hilal di negeri masing-masing sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di Arofah, begitu pula Idul Adhanya?
 Permasalahan ini adalah masalah khilafiyah di kalangan ulama’ salaf maupun khalaf. Sebagian ulama memahami bahwa shaum Arafah dan juga ‘Iedul-Adlha tergantung pada sebab terlihatnya hilal bulan Dzulhijjah di negara masing-masing, sebagaimana halnya untuk permulaan Ramadhan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas pada para hujjaj (jamaah haji).
       Diantara ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama adalah Syaikh Muhammad Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
       Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah. Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya. Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing).”
       Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
Dan dalam hal ini, penulis mengikuti tarjih ulama pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan diantaranya :
 
1. Telah berlalu penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
 
2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa
‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik :
 
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya iaadalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbasberkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].
 
عن ابن عباس يقول في يوم عاشوراء : خالفوا اليهود وصوموا التاسع والعاشر
   
Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7839 dan Al- Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/287; shahih].
 
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
 
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.
 
       Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
 
3. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
 
فطرتم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون
 
“Berbuka kalian adalah hari kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih”[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2324, Al-Baihaqiy 1/251, Ad-Daaruquthniy 2/163; shahih. LihatShahiihul-Jaami’ no. 4225].

فطرتم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفتكم يوم تعرفون
 
Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan olehAsy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. LihatShahiihul-Jaami’ no. 4224].

يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب
 
“Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orangorang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2419 dan At- Tirmidziy no. 773; shahih].
 
       Makna ’ penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalianmelakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaikan pelaksanakaan hari menyembelih danpelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah.
       An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Iedul- Adlhaa). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [Al- Majmu’’, 5/26].
       Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibadah haji wuquf di ‘Arafah.
 
4. Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata : “Bahwasannya amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih].
 
Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilal penduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahr (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah. Wallahu a’lam bish-showab.
 
Catatan :
  1. Penetapan Idul Fitri berbeda dengan penetapan Idul Adha. Dalam penetapan Idul Fitri penulis lebih condong kepada pendapat yang mengacu kepada perbedaan mathla’, artinya penentuan tanggal 1 Syawwal berdasar kepada ru’yah hilal masing-masing negara. Adapun penetapan Idul Adha (10 Dzul hijjah) mengacu kepada pelaksanaan wukuf di Arafah (9 Dzul Hijjah).
  2. Meskipun demikian, negara-negara yang perbedaan waktunya cukup panjang tidak disalahkan bila pelaksanaan shaum arafah dan Idul Adhanya berbeda dengan Mekkah.
  3. Penulis menghimbau kepada kaum muslimin agar tetap menjaga ukhuwwah islamiyah dan tali silaturrahmi karena masalah ini adalah masalah khilafiyah klasik yang sudah terjadi sejak zaman dahulu di kalangan ulama salaf. Jangan sampai perbedaan pendapat dalam masalah ini membuat kita bercerai berai dan berpecah belah.
 
 
SELAMAT MENJALANKAN IBADAH SEMOGA DITERIMA ALLAH SWT !
 
 
Oleh : Abu Harits Badru Tamam
 

© Copyright Indahnya Islam 2010 - 2016 | Powered by Blogger.com.