Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah
atas limpahan nikmat-nikmat-Nya yang tak mampu kita menghitungnya.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Idul Adha sebentar lagi tiba. Kaum
muslimin akan merayakannya dengan mendirikan shalat dan menyembelih
qurban, sebagai bentuk syukur kepada Allah dan menjalankan sunnah
Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan
berkorbanlah." (QS. Al-Kautsar: 1-2)
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
'Anhu, berkata: "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
menyembelih dua ekor kambing kibas yang gemuk dan bertanduk, beliau
membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan kakinya di samping leher
dua kibasnya itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Menyambut datangnya hari raya qurban,
biasanya, masjid-masjid membentuk panitia penyembelihan dan penyaluran
hewan qurban. Tujuannya, untuk membantu jama'ah dalam menjalankan
penyembelihan hewan qurbannya.
Dalam hal ini, panitia sebagai wakil
dari para mudhihhiin (orang-orang yang berqurban). Karenanya
mereka memiliki kewenangan untuk memutuskan pembagian dari hewan qurban,
di antaranya kulitnya. Sulitnya mengurusi dan memperlakukan kulit, ada
sebagian panitia yang memutuskan untuk menjual kulit. Hasil penjualannya
diserahkan kepada masjid sebagai uang kas untuk kebutuhan masjid.
Bagaimana hukum menjual kulit hewan qurban untuk kepentingan masjid
seperti ini?
Persoalan menjual kulit sudah muncul
sejak zaman dahulu, sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberikan
larangan dan ancaman yang keras,
مَنْ بَاعَ
جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
"Siapa yang menjual kulit hewan
qurbannya, maka tidak ada qurban untuknya (tidak diterima)." (HR.
Al-Hakim dan al-Baihaqi, dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih
al-jami', no. 6118)
Hal ini seolah menggambarkan, memberikan
kulit kepada tukang jagal sebagai bayaran atau bagian dari bayaran
sudah biasa sejak zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
karenanya beliau melarang untuk memberikannya kepada tukang jagal
sebagai bayaran. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu,
berkata:
أَمَرَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى
بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا
وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam memerintahkan kepadaku untuk mengurus hewan qurbannya, dan agar
aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan bulunya serta tidak
memberikan kepada tukang jagal darinya." (Muttafaq 'alaih dengan
lafadz milik Muslim)
Kemudian Ali berkata,
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ
عِنْدِنَا
"Kami memberinya upah dari harta
kami." (HR. Muslim)
Al-Shan'ani dalam Subul al-Salam
berkata, "Hadits itu menunjukkan untuk disedekahkan kulit dan bulunya
sebagaimana disedekahkan dagingnya. Tukang jagal tidak boleh diberi
sedikitpun darinya sebagai upah karena hal itu sama hukumnya dengan
menjual, karena ia berhak mendapat upah. Dan hukum qurban sama dengan
hukum hadyu, karenanya tidak boleh dijual dagingnya dan kulitnya serta
tidak boleh sedikitpun diberikan kepada tukang jagal."
Imam Nawawi rahimahullah
menjelaskan tentang larangan memberikan bagian hewan qurban kepada
tukang jagal, "Karena memberikan kepadanya adalah sebagai ganti (barter)
dari kerjanya, maka ia semakna dengan menjual bagian darinya, dan itu
tidak boleh. . . dan mazhab kami, tidak boleh mejual kulit hadyu dan
hewan qurban, dan tidak boleh juga menjual sedikitpun dari keduanya."
. . . memberikan kulit kepada tukang jagal sebagai bayaran atau bagian dari bayaran sudah biasa sejak zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karenanya beliau melarang untuk memberikannya kepada tukang jagal sebagai bayaran. . .
Perbedaan Pendapat di Kalangan
Ulama
Para ulama madzhab berbeda pendapat
tentang hukum menjual bagian dari hewan qurban, di antaranya kulitnya.
Dan pendapat yang paling kuat dan selaras dengan zahir nash adalah
pendapat yang mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hewan qurban,
baik kulit, wol, bulu, tulang, atau yang lainnya. Ini adalah mazhab Imam
Malik, al-Syafi'i, Ahmad, dan Abu Yusuf rahimahumullah. Hal
ini didasarkan kepada hadits Ali bin Abi Thalib di atas, "Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam memerintahkan kepadaku untuk mengurus hewan
qurbannya, dan agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan bulunya
serta tidak memberikan kepada tukang jagal darinya. Kami memberinya upah
dari kantong kami." (HR. Muslim)
Dan juga karena menyembelih hewan qurban
itu dijadikan sebagai qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan amal-amal qurubaat tidak menerima penukaran dengan harga, maka
tidak boleh dijual sebagaimana harta wakaf. (Dinukil dari Kitab Ahkam
al-Udhiyah fi al-Fiqh al-Islami, DR. Walid Khalid al-Rabi')
Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih
Sunnah (3/543), -sesudah menjelaskan alasan tidak bolehnya menjual
sesuatu dari anggota badan hewan qurban- mengatakan: "Ini adalah
pendapat Imam al-Syafi'i dan Ahmad. Sementara Abu Hanifah berpendapat,
ia boleh menjualnya sesukanya dari daging hewan qurban tersebut dan
menyedekahkan harganya. Namun yang paling jelas itu tidak dibolehkan."
Hikmahnya
Berqurban adalah bentuk mendekatkan diri
kepada Allah dengan mengalirkan darah hewan qurban. Hukum asalnya,
tidak boleh mengambil sedikitpun darinya. Hanya saja Allah mengembalikan
kepada orang yang berqurban sebagai hadiah untuk ia makan sebagiannya,
menyedekahkan sebagiannya, dan menghadiahkan jika masih ada. Dan harta
yang diperuntukkan mendekatkan diri (taqarrub) tidak boleh dijual oleh
yang mengeluarkannya, seperti zakat dan kafarat.
Maka bagi orang yang berqurban dan
panitia yang menjadi wakil dari orang yang berkurban dalam menjalankan
penyembelihan hendaknya mendistribusikan dari hewan qurban pada sesuatu
yang dibolehkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berupa
menikmatinya dan memanfaatkannya seperti dijadikan sandal, sepatu, tas,
tempat minum, dan lainnya. Maka jika kulit-kulit hewan kurban dijadikan
sesuatu yang bisa dinikmati secara umum di masjid maka tidak mengapa.
Sesungguhnya tujuan baik untuk memenuhi
kebutuhan masjid tidak bisa menghalalkan segala sesuatu, di antaranya
menjual kulit hewan kurban untuk kepentingan masjid. Karena disebutkan
dalam satu kaidah, "al-Ghayah laa Tubarriru al-Wasiilah" (Tujuan baik
tidak lantas menjadikan sarana itu menjadi baik). Karena sarana di sini
memiliki hukum tersendiri dalam syariat Islam.
. . . tujuan baik untuk memenuhi kebutuhan masjid tidak bisa menghalalkan segala sesuatu, di antaranya menjual kulit hewan kurban untuk kepentingan masjid. . .
Kesimpulan
Keputusan panitia penyembelihan hewan
kurban menjual kulit hewan qurban yang hasilnya sebagai kas masjid
termasuk bentuk hakiki dari menjual kulit hewan qurban yang tidak
dibenarkan dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas. Karena
panitia berkedudukan sebagai wakil dari orang-orang kaya yang berkurban
bukan sebagai wakil dari para penerima sedekahnya. Sementara penyaluran
yang dilakukan wakil orang yang berkurban itu seperti penyalurannya dia
sendiri, yang berarti orang-orang yang berkurban telah mejual kulit
hewan qurbannya untuk disedekahkan harganya. Dan ini terancam dengan
sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ""Siapa yang
menjual kulit hewan qurbannya, maka tidak ada qurban untuknya (tidak
diterima)." (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi, dihassankan oleh
Al-Albani dalam Shahih al-jami', no. 6118)
. . . Keputusan panitia penyembelihan hewan kurban menjual kulit hewan qurban yang hasilnya sebagai kas masjid termasuk bentuk hakiki dari menjual kulit hewan qurban yang tidak dibenarkan dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas. . .
Dan ini lebih kuat tidak dibolehkan
karena masjid bukan hanya milik orang-orang miskin yang dianggap berhak
menerima sedekah. Dan kalau kulit itu diposisikan sebagai wakaf, maka
wakaf itu harus dipakai hingga rusak dan bukan diperjual belikan. Dan
sebagaimana biasa, penjualan kulit untuk kas masjid itu bukan sebagai
wakaf bagi masjid. Karena ia tidak keluar dari kekuasaan orang yang
berkurban kecuali sesudah dijualkan oleh panitia, maka ini tidak boleh.
Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh : Ustadz Badrul Tamam